"Wiken ini aku mau ketemu klien di (salah satu mal di Jakarta Barat). Kalian mau ikut gak?"
Istriku yang aku tanyain balik bertanya. "Kamu mau ajak kami gak?"
"Yaaahhh. Kalau kalian mau ikut hayukkk."
"Kita sih ikut maunya kamu aja. Kalau kami diajak hayukkk. Kalau gak juga gak apa-apa ..."
"Kok balik tanya? Gimana? Mau ikut kagak?"
"Sini. Jujur. Kamu sebenarnya pengen ngajak kami kan. Tapi gengsi mengakuinya," tembak istriku sambil senyum-senyum.
"Ihhh... sori ya. Aku gak enak aja pergi sendiri. Kali aja kalian bosan di rumah trus mau ikut ..." Aku mencoba ngeyel.
"Ya udah... ngaku aja. Kayak kita baru kenal aja. Ingat, kita sudah menikah 10 tahun. Plus pacaran 7 tahun. Kenapa sih masih gengsi kalau kamu pengen ditemani..."
Skak mat. Mendapat jawaban seperti itu, aku hanya bisa mengatupkan mulut. Membenarkan 100% apa yang dikatakan istriku.
Sebenarnya kenapa aku ingin mengajak mereka?
Bukan karena aku takut pergi sendirian. Tetapi benar supaya sekalian mengajak keluarga jalan-jalan. Namun alasan sebenarnya aku mengajak mereka adalah karena aku memiliki bahasa cinta dalam bentuk KEBERSAMAAN.
Ups. Apa itu bahasa cinta?
Bagi yang belum familiar, istilah bahasa cinta diperkenalkan oleh Gary Chapman. Dalam bukunya yang berjudul The Five Love Languages: How to express Heartfelt Commitment to Your Mate, dia mengatakan di dunia ini ada lima bahasa cinta, yaitu:
(1) kata-kata pendukung (words of encouragement)
(2) hadiah-hadiah (receiving gifts)
(3) sentuhan fisik (physical touch)
(4) tindak pelayanan (acts of service), dan
(5) waktu berkualitas (quality time).
Apa itu definisi lebih lengkap masing-masing bahasa cinta bisa baca di http://www.5lovelanguages.com. Termasuk di dalamnya ada asessment untuk mengetahui kita memiliki bahasa cinta jenis apa.