Dengan bambu yang harganya murah, tehnik ini mampu menyerap 20 juta kubik air hujan hanya dalam waktu 1 jamÂ
Dari beberapa informasi prakiraan cuaca diprediksi akhir oktober 2015 ini, kawasan Indonesia kembali memasuki musim hujan. Tidak perlu dibayangkan lagi setiap hari akan penuh dengan berita banjir, terutama wilayah DKI dan pulau Jawa.
Permasalahan banjir bukan semata-mata tinggi - rendah nya permukaan air laut dari daratan. Bukan pula seberapa cepat selokan drainase mengalirkan air. Namun yang vital adalah daya serap tanah dan tanam-tumbuh di sekitar area publik itu sendiri. Termasuk juga jalan raya, halaman rumah, pekarangan, dan lain sebagainya.
Logika dasar dalam pengelolaan banjir seharusnya dapat menghitung seberapa besar volume air hujan per detik :
- Teralirkan kembali kelaut (drainase).
- Seberapa besar air dapat ditampung sementara dalam bendungan.
- Seberapa besar air dapat terserap kembali ke dalam tanah (pori bumi/ sumur serapan air).
Pada prinsipnya butiran air hujan itu jatuh lurus ke setiap pori bumi. Karena tidak adanya lubang untuk masuk ke dalam tanah maka butiran air hujan berkumpul menjadi genangan dan berubah menjadi bencana banjir.
Dari tiga logis ilmiah di atas, point ke-3 tampaknya belum mendapat perhatian yang serius. Padahal pada dasarnya struktur tanah di bumi ini dapat terjaga dengan baik apabila terdapat kandungan air dibawah tanah yang cukup dan akan kembali menguap menghasilkan udara yang segar di pagi hari, serta menjaga tanah agar tidak rapuh.
Analisa simple tindakan manakah yang lebih baik, apakah memindahkan air hujan ke laut dengan cepat, atau memindahkan air hujan ke dalam bumi dengan sebanyak-banyaknya. Tentu dua tindakan ini sama-sama baik. Namun secara alami aliran air ke laut mengikuti hukum air, tergantung tinggi rendah permukaan air dan faktor penghambatnya adalah drainase. Relatifitas kebaikan tindakan ini lebih kecil karena sudah terhitung jelas dataran Jakarta lebih rendah dari permukaan air laut.
Sedangkan mem-fokuskan tindakan memindahkan air hujan ke dalam perut bumi dengan sebanyak-banyaknya jauh lebih baik dan relatif manfaat yang lebih tinggi. Selain mempertahankan struktur tanah, penguapan air tanah pada cuaca panas dapat menyejukkan udara Kota Jakarta. Apabila fokus tindakan telah dipilih dengan tepat, maka seluruh kemampuan sumber datya perlu digerakkan dengan cara setinggi-tingginya. Melalui sosialisasi, himbauan, percontohan, penggalangan relawan dan upaya lainnya.
Jakarta sebagai pusat perhatian yang setiap tahunnya mengalami kebanjiran dikatakan suatu saat nanti akan tenggelam karena sudah berada di bawah permukaan laut. Menurut pandangan penulis, permukaan tanah menyusut (memadat) dan rapuh akibat semakin berkurangnya sungai bawah tanah. Sungai dan resapan air ini berkurang bukan karena debit hujan yang kurang, malahan sebaliknya, debit hujan sangat besar tetapi tidak bisa terserap ke dalam tanah karena tidak adanya celah pori yang bisa dilalui air. Pengelolaan banjir akibat hujan hanya terfokus pada drainase dan bendungan. Maka semakin rendah kesempatan tanah untuk menyerap air hujan.
Seharusnya diadakan studi di Jakarta, seberapa luas jalan raya, jalan lingkungan, halaman beton, dan luas perumahan yang seharusnya dapat berfungsi sebagai jalur/celah air hujan untuk terserap kembali oleh tanah.
Menyikapi permasalahan banjir di Jakarta ini, penulis mencoba mengemukakan solusi dengan cara membuat Lubang pori bumi di Jakarta. Untuk fasilitas umum seperti jalan raya, halaman perkantoran, dan sejenisnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membuat pori bumi. Sedangkan untuk kawasan perumahan sepenuhnya harus dilaksanakan oleh masyarakat secara swadaya, digerakkan oleh tokoh-tokoh masyarakat, Ketua RT, RW dan ormas-ormas yang ada.