Kita semua menyepakati tentang proses penegakan hukum di indonesia berjalan dengan baik dan tidak pandang bulu. Semua arogansi yang berwujud sebagai penyalah gunaan wewenang dan jabatan, mesti diproses dengan setegak-tegaknya. Ia harus menjadi prinsip dasar dalam penegakan hukum demi subuah tatanan negara yang baik yang rakyaknya nyaman dan puas atas keberlangsungan hukum di negeri ini.
Namun belakangan ini, kepercayaan masyarakat mengalami tumpang tindih dengan ketidak mampuan lembaga penegakan hukum untuk memproses segala masalah yang tengah ditanganinya. Ia bahkan secara sengaja menutup kasus yang memang nilai urgensinya, benar-benar penting dimata publik itu sendiri.
Contoh kasus yang masih membekas dan sangat membuat kecewa masyarakat adalah, ditutupnya kasus penyalahgunaan wewenang dalam skandal bailout Bank Century dan kasus pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) oleh KPK. Alasan karena tidak memiliki alat bukti untuk mengungkap kasus besar tersebut, telah membuat publik resah dengan kecurigaan atas KPK bahwa terdapat unsur kesengajaan yang membuat pihak KPK takut dan melempem ditengah pusaran kedigdayaan para koruptor. Padahal, kerugian negara atas kasus ini mencapai 142 Triliun.
Selama ini dalam upaya pemberantasan koropsi, usaha KPK terbilang masih tebang pilih. Ia terkesan “takut-takut berani” dalam memberantas perilaku korupsi. Misalnya saja, selain beberapa kasus besar yang tersebut di atas, publik juga dibuat kecewa atas pemberhentian kasus Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang merugikan negara sebesar Rp 689 miliar. Sementara diwaktu yang bersamaan, KPK justeru beringas terhadap kasus-kasus lain yang nilainya hanya beberapa persen dari tiga kasus besar yang sengaja ditutup itu. Publik masih ingat, dengan operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap anggota DPD Irman Gusman yang sengaja menerima suap sebesar 100 juta terkait kepengurusan kuota gula impor untuk Provinsi Sumatera Barat.
Disadari atau tidak, langkah KPK yang demikian telah membuat paradoks berskala besar dalam sejarah pemberantasan korupsi di indonesia. KPK yang digadang-gadang sebagai anak emas dari reformasi, hasil dari sebuah wacana yang bergulir sebagai lembaga untuk mengkontrol perilaku jahat pejabat, kini mau tidak mau juga ikut terjerumus dalam kemunduran yang amat dahsyat. KPK mundur karena publik menilai, eratnya keterkaitan lembaga anti rusuah itu dengan rezim yang tengah berkuasa. Semacam konspirasi siapa yang tidak sepaham dengan rezim, maka ia akan dijerat dengan perilaku korupsi atau dinina bobokan kasusnya dengan KPK sebagai senjatanya. KPK seperti di stir oleh oknum-oknum berkuasa yang menimati dan memanfaatkan otoritas kewenangan anti rusuah ini.
Entah benar entah tidak, kecurigaan tersebut semakin menemukan momennya pasca pengakuan pimpinan KPK beberapa waktu lalu atas tidak adanya niat jahat dalam kasus pembelian lahan Sumber Waras yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar itu. Bahkan, KPK mengalami masalah yang sama justeru semenjak rezim-rezim sebelumnya. Katakanlah kasus korupsi proyek SKK Migas yang melibatkan mantan ketua Komisi VII (Almarhum) Sutan Bhatoegana. Dalam keterangannya sebagai saksi, politikus yang terkenal dengan julukan 'si ngeri-ngeri sedap' itu sudah jelas menyebutkan bahwa ada keterlibatan Ibas dalam kasus lelang proyek pembangunan anjungan lepas pantai Chevron. Namun kita sama-sama mafhum, karena Ibas dianggap sebagai putera rezim berkuasa saat itu, ia tidak pernah dipanggil, diperiksa, bahkan untuk sekedar dimintai keterangan.
Kuatnya pengaruh rezim atas penegakan hukum di indonesia, sangat begitu kental mempengaruhi kekuatan instansi penegak hukum itu sendiri. Ia seperti ompong dihadapan penguasa, namun kejam kepada mereka yang diluar jalurnya. Dan disadari, penegakan hukum yang tebang pilih semacam ini, sangat meresahkan dihadapan kepercayaan rakyat indonesia atas KPK.
Sebenarnya, jika kita menengok kebelakang, penegakan hukum ala KPK ini terus diperparah dengan beberapa mekanisme yang kadang diluar akal sehat sebagai lembaga hukum. Ia mempertontokan keabsurdan sebagai lembaga anti rusuah yang dalam pengaplikasiannya, cendrung menyalahi hukum positif itu sendiri.
Kita masih ingat dengan tragedi KPK yang masuk ke gedung DPR RI dengan meminta pengawalan kepada kepolisian yang lengkap membawa laras panjang beberapa waktu lalu. Perihal kejadian itu, terjadi polemik yang cukup menegangkan antara beberapa anggota DPR RI dan penyidik KPK. Sebab diketahui dalam undang undang MD3, salah satu larangan ke Gedung DPR termasuk bagi Anggota Dewan, dilarang untuk membawa senjata api.
Kesalah pahaman semacam ini, sepertinya mendapat banyak dukungan dari beberapa kalangan masyarakat atas sikap KPK yang mencerminkan sebagai lembaga yang “otoritarian”. Padahal, jika mengacu kepada undang-undang MD3 tadi, sekaligus sebagai upaya penyelamatan atas nama baik lembaga KPK dan DPR RI, publik juga harus tahu bahwa proses penegakan hukum mestilah didasarkan juga kepada hukum positif yang berlaku dan disepakati. Kesewenang-wenangan atas nama apapun itu, jika menyalahi hukum yang berlaku, tidak dapat dibenarkan dan dibiarkan begitu saja. Jadi wajar jika dikemudian hari publik menilai, independensi KPK telah lumer oleh kepentingan beberapa pihak yang mempergunakannya demi menghabisi musuh-musuh penguasa.
Walhasil, KPK mesti berbenah, terutama untuk membangkitkan kembali semangat Equality before the law dalam arti yang sederhananya. Tidak tebang pilih untuk mengusut pejabat-pejabat yang korup, apalagi sampai diberdayakan kewenangannya yang justeru menguntungkan pihak-pihak tertentu.