Sebuah Ironi
Tensi perpoitikan tanah air sekarang ini benar-benar mendidih. Pasca aksi super damai 212 kini muncul lagi dengan parade Binnika yang hari ini (04 Desember) tergelar di Jakarta. Jika kita berpikir waras, tidak lain tidak bukan keterkaitan parade Bhinnika hari ini erat kaitannya dengan gelombang jutaan massa pada hari jumaat kemarin. Indonesia dalam beberpa pekan, serasa diselimuti hawa perang dingin yang benar-benar mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesi.
Selepas aksi bela islam tiga kemarin, sangat menyengat bagaimana propaganda dibangun dalam sejumlah group Whatsapp tentang parade Bhinnika hari ini tercipta. Bahkan, sejumlah kabar menyebut bahwa lembaga kenegaraan mengharuskan beberapa anggotanya untuk ikut memeriahkan dalam parade Bhinnika ini. Termasuk eselon I dan II, diwajibkan untuk membawa sejumlah keluarganya demi meramaikan perhelatan politis ini.
Harus disadari, parade yang menamakan diri “Kami Indonesia”, justeru semakin memperparah ketegangan antara golongan kontra ahok dan pro ahok. Dengan mudah publik membaca, bahwa terciptanya gelombang massa 04 Desember ini adalah sebagai bentuk perlawanan atas aksi bela islam yang dianggap sebagai kontra Bhinnika. Apalagi, jeda waktu antara aksi bela islam dengan parade ini, sangat berdekatan dan sangat mudah untuk disalah tafsirkan.
Isu sebagai perlawanan terhadap aksi bela islam belum selesai hanya sampai disini. Parade “Kami Indonesia” juga terdapat sejumlah partai yang secara jelas, dari awal sampai sekarang, getol mendukung ahok sebagai calon gubernur di DKI Jakarta. Koalisi partai pendukung ahok ini, dapat kita saksikan dalam atribut-atribut yang mereka bawa . Terlebih, sejumlah tokoh viral seperti Surya Paloh ketua umum partai Nasdem, Budiman Sujatmiko tokoh partai PDIP, serta sejumlah pengusaha penting yang meliputi Agung Sedayu Group, Arta Graha Group, dan Agung Padomoro turut juga mensponsori pagelaran hari ini.
Aroma kekisruhan antar golongan semakin bertambah, melihat sejumlah status di berbagai social media yang sarat sentimen dengan pagelaran 04 Desember ini. Kekisruhan dimulai, dari munculnya wacana saling tantang-menantang yang seolah merasa tersaingi. Hal tersebut menjadi viral, misalkan dengan membanding-bandingkan antara aksi aksi 02 Desember yang lebih memprioritaskan keteduhan, menjaga kebersihan, keramahan dari pada parade hari ini.
Buntutnya, pusaran gelombang keributan antar golongan pro dan kontra tersebut, sampai berujung pada rusaknya keharmonisan antar sesama teman, sesama keluarga. Bahkan di berbagai media seperti facebook, ada yang bertaruh jika parade 04 desember lebih banyak, maka ia siap diludahi.
Potensi kerusuhan semacam ini, seharusnya menjadi pembacaan awal oleh sejumlah tokoh penting maupun para intelek partai yang ikut dalam parade Bhinnika. Mengkompori dengan bahasa propaganda “Kami Indonesia” malah akan membuat kepercayaan Public kepada partai akan semakin kacau. Sebabnya jelas, yakni selain aksi 04/12 ini, terbaca menjadi “kami bukan Indonesia”. Terlebih, partai politik yang antara lain berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas, dan penciptaan iklim yang kondusuif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat , menjadi tidak guna seiring arogansi kepada objek yang didukung, sarat bias dan kepentingan kepada kekuasaan.
Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H