Mohon tunggu...
Hendri Mahendra
Hendri Mahendra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pernah aktif sebagai aktivis pers mahasiswa di kampus UIN Maliki malang dari tahun 2007-2012. Jabatan yang pernah diemban saat di pers mahasiswa adalah sebagai Litbang (penelitian dan pengembangan) dan pemimpin redaksi. Beberapa kali pernah diundang mengisi materi jurnalistik dan filsafat di beberapa komunitas pers di malang. Tertarik dengan kajian: Filsafat, jurnalistik, politik, sejarah, budaya dan mitologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pantaskah Malang Disebut Kota Pendidikan?

21 Februari 2015   01:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14244326671609516647

Sebagian besar warga Jawa Timur pasti setuju, sebutan kota Malang adalah kota pendidikan. Sebutan itu mengacu pada banyaknya perguruan tinggi yang ada di kota Malang. Berdasarkan situs pemkot malang, pada tahun ini jumlah perguruan tinggi di kota Malang berjumlah 31 lembaga perguruan tinggi. Sedangkan situs ngalam.web.id mencatat ada sekitar 62 lembaga perguruan tinggi di kota apel ini. Ini belum termasuk jumlah perguruan tinggi yang ada di kabupatennya lho!
Saya, tercatat sebagai salah satu alumni perguruan tinggi di kota itu. Pada tahun 2006, kakak tingkat saya waktu masih ngampus dulu bilang begini; di kota Malang ataupun di kabupatennya sering ada komunitas-komunitas diskusi. Menurutnya aura diskusi dan semangat mencari ilmu kental terasa, katanya.. waktu itu.. Berbeda dengan sekarang.
Memangnya sekarang aura diskusi di kota ini sudah meredup? Saya saat ini masih bekerja di Kediri, namun waktu liburan lebih banyak saya habiskan di Malang. Saya sering sekadar lewat, ataupun sekadar ngafe di kota dingin ini.
Memang, di kota Malang saat ini yang lebih kerasa bukan aura intelektual dan komunitas diskusi nya. Namun yang kerasa aura kongkow-kongkow dicafe-cafe. Asal tahu saja, sejak tahun 2010 hingga saat ini, jalan Soekarno-Hatta di kota malang dipadati dengan kafe-kafe ataupun resto-resto.
Dulu zaman saya kuliah tahun 2006 di jalan soekarno-hatta tidak ada yang namanya café mie jogging, mie tomcat, resto pizza hut, ikan goreng pangeran, penyetan suroboyo dan cafe baru lainnya yang saya tidak hafal brandnya satu persatu.
Asal tahu saja, data pemkot Malang mencatat ada 132 jumlah kafe dan resto di kota Malang. Ini jumlah yang terdeteksi oleh pemkot malang. Berdasarkan amatan saya, masih banyak café-café yang tidak tercantum di data yg diupload oleh pemkot Malang di situs webnya.
Memang, faktanya di kota Malang yang menjamur kafe dan resto, bukan toko buku. Jika kita bandingkan dengan jumlah perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya yang ada di kota trersebut, saya menduga, jumlah kafe dan resto lah yang lebih banyak.
Di kawasan pasar buku Wilis kota Malang, mencari koleksi novel lawas Pramoedya Ananta Toer susahnya minta ampun. Tapi, di blok M Jakarta Selatan justru banyak yang menjual novel-novel lawas karya pram.  Saya beli buku Sarinah karya Bung Karno cetakan 1940-an, beli nya bukan di malang, tapi di blok M Jakarta Selatan. Saya nemu buku Gadis Pantai karya pram cetakan kedua juga di blok M Jaksel. Padahal blok M itu terminal plus pusat perbelanjaan menengah ke atas, bukan pasar buku.
Nyari buku Madilog karya Tan Malaka di pasar buku Wilis kota Malang, susah nemu. Tapi justru di pasar Senen Jakarta Pusatt malah banyak yang jual. Saya menemukan buku The Birth of Tragedy karya Nietzsche justru di Tangerang, di kampus UIN Jakarta, bukan di UIN Malang. Selama 4 hari saya berkunjung ke UIN Jakarta, banyak buku unik yang saya temukan disana. Salah satunya buku Kapital jilid II karya Karl Marx. Saya menghabiskan ratusan ribu hanya untuk membeli koleksi buku yang tidak pernah saya temukan di kota Malang.

Jika anda penikmat filsafat atau sejarah atau penikmat novel lawas, saya sarankan sekali-kali pelesirlah ke UIN Jakarta, blok M Jaksel, dan Pasar Senen Jakpus. Temukan koleksi buku unik mu. Kota Malang tidak masuk dalam rekomendasi saya! Mencari menu makanan dengan resep inovatif lebih mudah nemu di Malang. Tapi mencari buku yg membuat wawasan kita menjadi filosofis agak susah nemunya. Menemukan warung kopi, café dan resto dengan menu yang unik sangat mudah di kota Malang. Namun menemukan koleksi karangan Nietzsche, Foucault atau Derrida seperti mencari jarum di rumput. Mungkin saking susahnya atau memang koleksi tersebut tidak ada di kota ini, ibarat memancing ubur-ubur di danau.
Di kota ini, lebih mudah menemukan segerombolan anak muda kongkow-kongkow di café-café, resto dan warung kopi dari pada menemukan anak muda berdiskusi tentang ilmu pengetahuan di taman-taman kota, atau taman kampus. Masih pantaskah kota Malang kita juluki sebagai kota pendidikan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun