Berdasarkan hasil Survei Harga Properti Residensial yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) sepanjang 2019, realisasi penyaluran FLPP (Fasilitas Likuidasi Pembiayaan Perumahan) untuk DKI Jakarta hanya sebesar Rp 12,2 milyar untuk 83 unit rumah saja.
Angka ini tentu sangat kecil jika dibandingkan dengan realisasi FLPP di provinsi yang menjadi tetangga Jakarta. Di Jawa Barat misalnya, realisasi FLPP adalah sebesar Rp 1,52 triliun untuk membiayai 15.350 unit rumah, terbesar tahun 2019. Sementara Banten membukukan realisasi sebesar Rp 364,6 milyar untuk membiayai pembangunan 3.775 unit rumah.
Ada apa dengan Jakarta? Padahal pemprov Jakarta sudah mencanangkan program unggulan DP 0 persen untuk menyediakan hunian terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Sayangnya memang tidak tersedia data yang memadai untuk menggambarkan sebaran realisasi FLPP di Jawa Barat dan Banten, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang.
Namun, dengan proporsi seperti ini, wajar saja jika banyak yang menduga bahwa pilihan paling rasional bagi warga berpenghasilan rendah di Jakarta yang ingin memiliki rumah subsidi adalah dengan membelinya di wilayah-wilayah penyangga tersebut.
Pilihan ini mengandung konsekuensi pada timbulnya masalah-masalah baru yang menanti di depan mata. Kondisi perumahan subsidi di daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, belum tentu ideal bagi mereka yang mengais rejeki di Jakarta karena alasan-alasan berikut:
Petama terkait dengan kondisi infrastruktur dan masalah kemacetan hingga menyebabkan waktu tempuh menuju tempat kerja seringkali menjadi tidak rasonal.
Kedua, sarana transportasi massal yang tersedia hingga saat ini masih terbatas dan belum terintegrasi secara optimal, sehingga beban biaya transportasi yang harus ditanggung warga akan menjadi jauh lebih tinggi.
Di sisi lain, bagi warga yang memutuskan untuk tinggal di dekat lokasi tempat mereka bekerja di Jakarta, maka pilihan yang tersedia adalah menyewa rusunawa yang jumlahnya masih sedikit, atau menyewa rumah-rumah petak di pemukiman padat dan sangat padat yang tersebar di banyak wilayah di Jakarta.
Pilihan untuk tinggal di kawasan padat dan sangat padat ini menjadi tidak bijaksana karena sebagian besar merupakan kawasan kumuh. Salah satu karakteristik kawasan ini adalah memiliki daya dukung lingkungan yang rendah, seperti sanitasi yang buruk, terbatasnya supply air bersih, kondisi lingkungan yang tidak sehat, serta masalah-masalah klasik lain seperti rawan banjir dan rawan kebakaran.
Menjadi ironis karena Jakarta justru berada di kondisi kelebihan supply unit-unit apartemen. Menurut data Savills Indonesia, pasokan apartemen di Jakarta mencapai lebih dari 166.000 unit di sepanjang 2019, dan diperkirakan ada tambahan pasokan lagi sebanyak 50.000 unit hingga beberapa tahun mendatang