Terkait dengan rencana pemindahan ibu kota negara, baru-baru ini Presiden Jokowi menegaskan akan memaksa pegawai negeri sipil (PNS) di instansi pusat untuk pindah ke ibu kota baru yang berlokasi di Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Sebelumnya, Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo juga telah memastikan bahwa seluruh ASN tingkat pusat akan dipindahkan ke ibu kota baru pada tahun 2024 apabila ibu kota baru baru tersebut sudah selesai dibangun.
Dikutip dalam sebuah dokumen Kementrian PAN-RB, rencana pemindahan PNS ke ibu kota baru ini akan dijalankan melalui dua skenario:
Skenario pertama, dengan memindahkan semua PNS tanpa mempertimbangkan kelompok usia. Dengan skenario ini, total ada 182.462 PNS yang akan dipindahkan.
Skenario kedua adalah pindah sebagian. Artinya, hanya PNS yang masuk kelompok usia sampai dengan 45 tahun yang akan dipindahkan, dengan total 118.513 PNS.
Pertanyaannya, apakah rencana ini realistis dilakukan di tahun 2024?
Sebelum membahas lebih jauh, aku menangkap "spirit"Â yang tergambar dari perintah Jokowi yang akan memaksa PNS untuk pindah ke ibu kota baru tersebut, yaitu ingin segera membentuk populasi pertama yang menghuni kawasan, hingga memungkinkan roda pemerintahan bisa berjalan dengan efektif, dan perekonomian juga bisa segera berputar disana.
Langkah ini sangat beralasan karena salah satu tantangan yang sekaligus menjadi kekhawatiran terbesar pada pengembangan kawasan baru adalah bagaimana membangun populasi yang akan membuat kawasan tersebut bisa "hidup".
Sekretaris Tim Kajian Ibu Kota Negara Kementerian PPN / Bappenas Hayu Prasasti pada suatu kesempatan juga menyatakan kekhawatirannya terkait masalah ini.
"Kita pelajari sehingga ini harus hati-hati sekali. Jangan sampai nanti kawasan pusat pemerintahan pindah tapi terus jadi ghost town (kota kosong)," begitu jelasnya.
Istilah "Ghost Town" atau kota hantu yang dimaksud Hayu Prasasti ini mengacu pada apa yang terjadi di China dengan begitu banyaknya proyek-proyek pengembangan kawasan hunian yang gagal hingga meninggalkan bangunan-bangunan yang sama sekali kosong tidak berpenghuni.
Berangkat dari kekhawatiran ini, beberapa kondisi berikut perlu dipertimbangkan karena terkait dengan tingkat kesulitan untuk mengimplementasikan rencana ini nantinya:
Pertama, pembangunan kawasan perumahan membutuhkan biaya sebesar Rp 215,40 triliun dari total kebutuhan pembiayaaan pembangunan ibu kota negara sebesar Rp 466 triliun.
Kedua, sumber dana pembangunan kawasan perumahan berasal dari Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), bukan melalui APBN (Pemerintah hanya membiayai 19,2% atau sekitar Rp 93,5 triliun untuk beberapa infrastuktur dasar).
Skema pendanaan melalui kerjasama dengan "Badan Usaha" memiliki konsekuensi pada hitung-hitungan bisnis pembangunan kawasan perumahan yang harus bisa mengakomodasi kepentingan profit para pengembangnya.