Lalu kusentuh tangan-tangan mungil yang masih terkepal itu setelah lama menatap wajahnya dengan bahagia.
Aku merasa takjub. Tiba-tiba sebuah keajaiban telah singgah di kehidupan kami lewat kehadiran bayi lelakiku ini. Persis seperti embun yang menyibak kegelapan panjang yang menyiksa saat detik demi detik berlalu dengan tertatih-tatih dan makin lama semakin beringas melawan perjuangan sang ibu untuk melahirkannya ke dunia.
Bahkan tak sempat untuk sekedar menolehkan wajah pada sesosok tubuh renta yang baru saja masuk dan berdiri di pojok sana. Hanya sebait kata-kata lirih yang keluar dari mulutku untuk menyambutnya.
“Dia anakku, Kahlil.., dan dia milikku.”
Sekilas kurasakan sosok Kahlil Gibran yang mengenakan jubah dan sorban putih itu seolah-olah melambaikan tangan ke arahku, sebelum memulai lagi kata-kata yang sama, walau tahun demi tahun telah berlalu.
“Anak-anakmu bukanlah milikmu. Mereka adalah anak-anak sang hidup yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.”
Terus terang kalimat itu mulai menggangguku, seperti mengisi ruang kosong di telingaku dengan kegaduhan.
“Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, ” lanjutnya lagi, “tapi bukan jiwa mereka. Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat kau kunjungi meskipun hanya dalam mimpi.”
“Cukup, Kahlil..!” Kataku seraya memalingkan wajah kearahnya. “Sudah beribu pendongeng yang mendendangkan kata-kata itu. Tapi tak satu pun yang menemukan makna sejatinya kecuali kesia-siaan belaka.”
“Kau salah.., Sobat.”
“Tidak, Kahlil...”
“Karena belum cukup waktumu memahami arti hidup. Karena belum banyak ruas jalan yang kau susuri hingga terjal dan berlikunya pengalaman masih belum cukup buatmu untuk menggapai tingginya pemahaman. Juga goresan-goresan luka ditubuhmu itu.., perih yang kau rasakan belum cukup dalam untuk bisa menyelami dasar-dasar kearifan.”
“Kata-katamu seperti gemericik air yang berlalu begitu saja di sungai berbatu itu, Kahlil...”
“Tapi tak bisa kau ingkari karena hanya ego yang ingin kau asupi lewat pikiran-pikiran itu.”
Kali ini aku tidak mau menjawab kata-katanya lagi.
“Jujurlah.., Sobat,” lanjutnya, “bahwa engkau hanya akan mengatasnamakan cinta dan kasih sayang untuk memuaskan hasrat kelaki-lakianmu yang egois itu.”
“Kau tidak mengerti apa itu cinta dan kasih sayang, Kahlil.”
“Hahaha..” Suara tertawanya menggema keras hingga ke seantero ruangan.
“Bahkan pohon-pohon cedar yang berbaris rapi di hamparan perbukitan indah di tanah Lebanon menjadi saksi; begitu banyak peziarah yang datang melagukan puja-puji di atas makam leluhur-leluhur kami, dari waktu ke waktu, tentang betapa kata demi kata yang kutulis di kitab “Sang Nabi” seperti terpahat di benak mereka, seperti terpenjara di hati mereka.”
“Tapi tidak buat Selma Karamy..,” jawabku singkat.
Kali ini tenggorokan Kahlil seperti tercekat tak mampu berkata-kata.
“Setelah kau rampas hatinya, lalu kau tinggalkan begitu saja dalam cengkeramanan keponakan pendeta yang akan mencabik-cabik jiwanya hingga kering. Jangankan untuk membawanya terlepas dari derita pernikahan itu, bahkan beberapa patah kata sebagai salam perpisahan pun tidak terucap dari mulutmu.”
“Cinta memang penuh dengan misteri, Sobat...”
“Begitukah? Bagaimana dengan Micheline dan Mary Haskell? Bukankah hingga ke ujung penantiannya pun pria lainlah yang menjadi pelabuhan terakhir bagi bahtera cinta mereka?”
“Cinta memiliki jalannya sendiri, karena cinta ada untuk cinta. Ia tidak memiliki dan tidak bisa dimiliki. Cinta tidak memberi apapun kecuali dirinya sendiri dan tidak meminta apapun selain cinta itu sendiri.”
“Lalu, seperti yang selalu kau ucapkan, mengapa tidak kau ikuti saja kemana cinta pergi walau jalannya terjal dan berliku? Mengapa ketika sayap-sayap cinta merengkuhmu, tak kau serahkan saja dirimu sepenuhnya, meskipun pedang yang ada di balik sayap itu akan melukaimu? Mengapa perjalanan cintamu tak pernah berakhir pada ikatan kebersamaan yang suci, sampai sayap-sayap putih kematian mengelilingi hari-hari kalian?”
“Kau tidak mengerti...”
“Lantas, apakah May Ziadah mengerti..?”
Kata-kataku yang terakhir ini sontak membuat wajah Kahlil Gigran merah padam.
“Jangan kau sebut nama itu..!” teriaknya. “Kau tidak pernah tahu apa yang kurasakan saat tangan-tangan kesendirian yang selembut sutera itu memainkan jari-jemarinya yang perkasa hingga merobek-robek jantungku...”
“Mengapa, Kahlil? Begitu dalamkah cintamu pada May?”
“Sedalam yang takkan bisa kau selami, Sobat..,” jawab Kahlil Gibran dengan suara bergetar. “Selama enam belas tahun kami menjalin hubungan cinta yang sunyi ini.”
“... dan kau tidak pernah sekalipun menemuinya di Mesir.”
“Sudah beberapa kali kucoba..!”
“Tapi belum cukup keras usahamu menyeberangi samudara untuk menggapainya, bukan?”
“Surat-surat yang kukirimkan pada May menjadi saksinya, Sobat. Tak bisakah kau rasakan betapa besar cintaku, betapa berat hari-hari yang kujalani dalam kesendirian, dan betapa rapuh tubuhku menopang rasa cinta pada May yang tak terkikis oleh waktu?”
“Lembar-lembaran kertas itu tidak pernah bisa menggantikan derita May yang tak terucapkan dengan kata-kata, Kahlil...” jawabku seraya menghunjamkan tatapanku ke sekujur tubuhnya.
“May mengharapkan dirimu yang sedang berdiri dihadapannya,” kataku lagi, “saat wajahnya yang cantik itu merona merah begitu kulitmu menyentuh kulitnya, saat sepasang matanya berlinang menatapmu begitu setangkai bunga mawar yang kau selipkan di rambutnya itu mulai gemetar menahan malu.”
Kali ini bisa kurasakan helaan nafas Kahlil Gibran yang begitu cepat dan dalam, seperti ada penyesalan yang lama menggumpal di dadanya.
Lama tiada kata yang terucap sebelum terbata-bata ia mulai lagi berbicara.
“Raga hanya persinggahan sementara bagi jiwa-jiwa yang selalu rindu pada sang pencipta, sobat... Akan ada kesempatan itu, di dunia yang lain, tempat dimana jiwa-jiwa yang sekian lama terpisah akan bertemu, lalu bersatu...”
“Itu adalah kata-kata yang biasa diucapkan seorang pecundang, Kahlil..,” jawabku pelan.
“Apa katamu..?”
“Ya.., pecundang. Pecundang sejati.”
“Kurang ajarrr...!!!” Kahlil Gibran berteriak keras seraya menghunus sebilah pedang yang terikat dipinggang. Harga dirinya sebagai laki-laki telah kuinjak-injak. Di tangan kanannya, pedang itu teracung tinggi hingga hampir menyentuh langit-langit ruangan.
Aku lalu berdiri dan berjalan perlahan menghampirinya. Aku tahu, tidak ada sedikitpun keberanian dalam dirinya untuk menebaskan pedang itu ke arahku.
“Itukah yang kau sebut sebagai cinta suci," kataku "disaat May menantimu dengan penuh harap sementara engkau terlena dengan puisi-puisimu sembari mengumbar nafsu birahi dengan para pelacur itu?”
Tak mampu lagi kutahan untuk menghajar wajahnya dengan jari tangan terkepal, sekuat tenaga, membuat Kahlil gibran tersungkur ke lantai sambil meraung-raung kesakitan. Pedang yang tadinya terhunus telah terpental dari tangannya.
Diantara isak tangis yang menyayat hati itu kemudian kuraih kerah jubahnya lalu kutatap wajahnya yang tirus itu dari dekat. Ada kata terakhir yang kubisikkan di telinganya sebelum berlalu meninggalkan tempat ini.
“Kau masih harus belajar, Kahlil, bagaimana caranya mencintai.., dengan memiliki...”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H