Mimpi tak selamanya akan berstatus bunga tidur, jika diusahakan sungguh-sungguh mewujudkannya di kehidupan nyata. Kalau pernah bermimpi mengendarai mobil Ferrari atau Lamborghini, maka ia akan menjadi nyata jika setelah bermimpi langsung berusaha dengan bekerja keras untuk mendapatkannya.
Kalau hasil kerja keras sudah terkumpul, lebih dari Ferrari atau Lamborghini pun bisa dibeli. Bak kata pepatah ‘Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan’.
Inilah pesan yang coba disuntikkan pada setiap penonton film “Negeri Lima Menara” yang sudah bisa dinikmati di bioskop-bioskop. Film yang diangkat dari novel laris “Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi ini, akan membuat penontonnya berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya.
Untuk menularkan sebuah mimpi, memang dibutuhkan seorang figur guru yang bisa mempengaruhi jiwa anak didiknya. Seorang guru yang hebat, bisa membuat murid-muridnya lebih hebat dari dirinya. Kalau murid telah mampu mewujudkan cita-cita atau mimpinya, pertanda guru berhasil membawa muridnya ke puncak keberhasilan tertinggi.
Mimpi akan sulit terwujud, jika hanya berdiam diri saja menikmati hayalannya. Bak orang bermimpi bisa berenang, namun hanya berkaca saja di tepi kolam ataupun sungai, maka ia tidak akan tahu betapa dalamnya air dan betapa sukarnya untuk bisa berenang.
Memang dibutuhkan pengorbanan, kalau ingin pandai berenang. Ancaman tenggelam sudah pasti, apalagi terminum air kolam pastinya terjadi. Tentu tak hanya satu kali saja belajarnya lalu langsung pandai, tapi harus berkali-kali sampai tubuh benar-benar bisa mengapung di atas air dan bisa digerakkan di permukaan ataupun dalam kondisi menyelam.
Kalau sudah berhasil menguasai keseimbangan tubuh dengan air,maka gaya apapun bisa dipraktekkan untuk menyenangkan hati. Kalau bosan gaya dada, maka gaya kupu-kupu bisa dimainkan. Jika bosan lagi, bisa diganti pula dengan gaya punggung atau lainnya.
Inilah yang coba diwujudkan Alif (Gazza Zubizzaretha) pemuda asal Maninjau, Minangkabau yang baru saja lulus Pondok Madani. Ia ingin melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB), demi sebuah impian menjadi Habibie kedua.
Sayang impiannya kandas di tengah jalan, karena sang ibu, Amak (Lulu Tobing) dan ayahnya (David Chalik) tidak ingin anaknya jadi Habibie. Keduanya menyimpan mimpi pula agar anaknya melanjutkan sekolah di pesantren, agar kelak menjadi Buya Hamka kedua, tokoh asal Maninjau yang sangat harum namanya hingga kini.
Maklum, sejak Buya Hamka wafat, hampir tidak ada generasi muda Minang yang bisa menyamainya apalagi melebihi beliau. Maka dari itu, kedua orang tua Alif, berharap Alif-lah Buya Hamka kedua itu. Sebuah dilema, antara mewujudkan mimpi sendiri dengan mewujudkan mimpi orang tua sebagai bukti berbakti pada keduanya.
Walau berat hati, Alif akhirnya mengikuti perintah kedua orangtuanya. Dengan ditemani sang ayah, Alif beranjak meninggalkan Maninjau menuju pondok pesantren Gontor di Pulau Jawa.
Di pesantren, ia pun berkenalan dengan Raja (Jiofani Lubis) pemuda asal Medan, Baso (Billy Sandi) remaja asal Gowa, Atang (Rizki Ramdani) dari Sunda, lalu Dulmajid (Aris Ananda Putra) dari Sumenep dan Said (Ernest Samudra) remaja asal Surabaya. Mereka pun akhirnya berteman, sebagai santri dan sama-sama anak rantau.
Di hari pertama mengikuti wejangan ustad di pesantren, mereka seolah tersihir dengan 'mantra' ustaz Salman (Doni Alamsyah), tentang konsep 'Man Jadda Wa Jadda', yakni siapa yang bersungguh-sungguh ia akan berhasil. Semangat mereka langsung bergelora khas anak muda, untuk mewujudkan mimpi yang sudah memenuhi benak masing-masing.
Keenam anak muda itu semakin dekat dan persahabatan mereka kian terjalin akrab. Kebiasaan mereka di sore menjelang azan Magrib, berkumpul di bawah menara masjid sembari memandangi awan yang berarak menghiasi langit. Dari kebiasaan itu, mereka menamakan diri ‘Sahibul Menara‘, alias Pemilik menara.
Saat memandang awan itulah, impian mereka diucapkan. Sebuah impian diucapkan, sambil berharap awan-awan itu melukiskan impian-impiannya. Alif melihat awan-awan menyerupai benua Amerika, karena ia bermimpi kelak bisa mengunjunginya setelah lulus pesantren.
Sementara temannya Baso, Raja, Atang menggambarkan awan-awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa, yang kelak ingin mereka jelajahi. Mereka berharap, mimpi-mimpi itu bisa menjadi nyata.
Saat kebersamaan mereka makin kental, mereka harus menerima kenyataan pahit. Baso harus meninggalkan pesantren, untuk menjaga neneknya di kampung. Keharuan menyungkup mereka, karena harus berpisah entah sampai kapan.
Sementara Alif, kembali diingatkan pada mimpi-mimpinya untuk meneruskan pendidikan di Kota Kembang. Ia pun teringat kata bijak "Man Shabara Zhafira" yang artinya "Siapa yang bersabar akan beruntung."
Waktu berlalu, dan tak terasa sudah 15 tahun sudah. Enam sekawan akhirnya menemukan nasib yang secara ajaib mendaratkan mereka di 5 negara berbeda. Ini merupakan wujud nyata mimpi-mimpi mereka ketika duduk-duduk di kaki menara Pondok Madani. Baso, Atang, Raja dan Alif terdampar di hiruk-pikuk kemodernan London dan Washington DC dan eksotisme Kairo dan Madinah.
Sebaliknya Dulmajid dan Said memutuskan pulang kampung. Menempuh jalan sunyi mengajar mengaji di surau dan madrasah. Tangan Tuhan, melalui mimpi, tekad bulat, kerja keras dan doa menuntun mereka ke "menara" hidup mereka masing-masing.
Film garapan Sutradara Affandi ini begitu ringan mengalir sehingga gampang dicerna. Sekali-sekali ada komedi ringan dalam mewarnai jalannya kisah babak demi babak. Suasana pesantren begitu kental dan berhasil digambarkan dengan mantap, sehingga terasa begitu dekat dengan penonton.
Dari segi akting, kemampuan para remaja pemula di jagad perfilman Indonesia lumayan hidup dan natural. Semua tentu kembali pada Man Jadda Wa Jadda tadi. Kesungguhan mereka dalam berakting, menghasilkan film yang cantik untuk dinikmati penonton dan diambil intisarinya.
Film produksi Kompas Gramedia Production dan Million Pictures ini sarat akan makna. Pesan persatuan, persahabatan, kekeluargaan, pengorbanan dan semangat mencari ilmu dapat mempengaruhi penonton, agar bisa pula mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Man Jadda Wa Jadda.
Penasaran dengan akting dan efek psikologisnya, film ini sudah tayang serentak di bioskop Tanah Air sejak 1 Maret lalu. Jangan sampai tidak menontonnya.
Jenis: Drama
Pemain : Donny Alamsyah, Lulu Tobing, Ikang Fawzi, David Chalik,
Penulis: Salman Aristo, Rino Sarjono, A Fuadi
Produser: Bernhard Soebiakto, Indra Yudhistira, Ignatius Andy, Olga Lydia,
Salman Aristo, Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti
Sutradara: Affandi Abdul Rachman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H