Peningkatan pertumbuhan penduduk di Indonesia, seiring dengan perilaku konsumtif masyarakat, menjadi penyebab jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia terus meningkat. Menurut data dari sistem informasi pengolahan sampah nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menunjukkan bahwa pada tahun 2023 terdapat 17.441.415,28 ton timbulan sampah yang dihasilkan. Berdasarkan sumbernya, 44,6% berasal dari sampah rumah tangga. Data capaian tersebut adalah hasil dari penginputan data yang dilakukan oleh 128 Kabupaten/Kota se-Indonesia pada tahun 2023.
Sebenarnya, dari jumlah sampah yang dihasilkan seharusnya menjadi potensi untuk dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memanfaatkan kembali sampah yang bisa diolah dan bernilai ekonomis lewat kegiatan pemberdayaan. Namun, pada kenyataannya, pemerintah belum serius dalam mengatasi persoalan ini.
Pengolahan sampah masih berfokus pada daerah perkotaan, misalnya nama proses pengangkutan sampah yang masih berfokus pada fasilitas umum dan fasilitas milik pemerintah. Sedangkan untuk sampah rumah tangga/domestik masih sangat kurang, terutama di daerah pedesaan. Pengolahan sampah di daerah pedesaan masih minim dilakukan, ini dibuktikan dengan minimnya fasilitas persampahan yang terdapat di desa.
Masyarakat di desa dalam proses pengolahan sampah masih dilakukan secara konvensional, di mana masih bertumpu pada pola kumpul, angkut, dan buang. Pada bulan Juli 2023, saya sempat melakukan penelitian untuk memenuhi kebutuhan data skripsi. Kebetulan, judul skripsi yang diangkat berkaitan dengan pengolahan persampahan di Negeri (Desa) Makariki, Kabupaten Maluku Tengah. Sesuai hasil survei dan data kajian pustaka yang dilakukan dari berbagai sumber, ada beberapa poin penting yang saya simpulkan mengenai sistem pengolahan persampahan di desa.
Dalam proses penanganan sampah, masyarakat desa biasanya menumpuk sampah pada lahan kosong seperti kebun atau pada pinggiran jalan. Parahnya lagi, dibuang langsung ke sungai, selokan, atau pantai. Perilaku seperti ini tentu sangat merusak lingkungan. Masyarakat terpaksa melakukan seperti itu karena pemerintah desa tidak menyediakan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau fasilitas persampahan yang dapat mengangkut sampah ke lokasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) atau didaur ulang.
Selain itu, proses penanganan sampah yang biasa dilakukan masyarakat seperti membakar sampah. Biasanya, dibuat kolam penampung sampah di belakang rumah kemudian sampah-sampah dibuang pada kolam tersebut, jika sudah penuh sampah-sampah kemudian akan dibakar.
Dari segi pewadahan sampah, masyarakat desa memiliki sistem pewadahan yang berbeda-beda. Biasanya mereka memanfaatkan bahan bekas seperti kantong kresek, karton bekas, karung, kotak sampah, atau ember bekas. Dari sekian pewadahan yang digunakan, kebanyakan masyarakat lebih memilih menggunakan kantong kresek. Selain itu, masyarakat tidak mengenal proses pemilahan sampah antara organik dan anorganik, semua sampah dicampur menjadi satu pada wadah penampungan sementara.
Mengubah Sampah Menjadi Seni
Melihat kondisi di desa yang minim akan fasilitas persampahan, sebaiknya proses pengolahan sampah perlu diedukasikan kepada masyarakat. Dimana ketersediaan bank sampah perlu disediakan agar masyarakat terbiasa dalam proses pengolahan sampah dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian lewat kegiatan pemberdayaan yang dilakukan.
Proses pengolahan sampah perlu dilakukan secara mandiri mulai dari tiap keluarga, dengan begitu pengolahan sampah dirasa sangat efektif. Misalnya saja mulai dari proses pemilahan sampah organik dan anorganik, kemudian sampah organik dikumpulkan untuk diolah sendiri menjadi pupuk organik. Sedangkan sampah anorganik bisa dimanfaatkan kembali dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle).
Namun lagi-lagi perlu diakui konsep 3R (reduce, reuse, recycle) belum begitu efektif diterapkan karena terbentur dengan perilaku masyarakat yang belum terbiasa dengan pola dan kebiasaan tersebut. Masyarakat masih menganggap sampah sebagai barang yang kotor, jorok, dan menjijikan.
Sewaktu kegiatan penelitian yang saya lakukan tempo hari, saya menemukan salah satu ibu rumah tangga di Negeri Makariki yang sudah secara mandiri mengelolah sampah plastik yang dihasilkan. Ketika mewawancarai beliau, ia menjelaskan bahwa yang ia lakukan hanya untuk mengisi waktu luang.Â