"Coba kamu lihat anak Bu Susi, dia sudah wisuda dan dapat predikat cumlaude."
"Belajar yang rajin biar bisa dapat peringkat satu!"
"Kamu beda sama kakak mu, dia sering juara kelas sedangkan kamu cuman dapat peringkat terakhir di kelas."
Pernahkah kalian dibanding-bandingkan oleh orangtua dengan anak tetangga? Ataukah ketika di kelas, gurumu sering membandingkan kamu dengan murid terpintar di kelas? Jika mendapat nilai tinggi selalu dipuji-puji.
Ataukah kamu pernah menjadi juara kelas lalu orangtuamu menjadikan kamu sebagai bahan pembicaraan dengan orang lain seperti saat bertemu dengan tetangga atau bahkan ketika kumpul bersama keluarga besar kamu justru diunggul-unggulkan?
Orangtua memang begitu bangga ketika anaknya menjadi juara di kelas. Guru begitu senang ketika muridnya mendapatkan nilai bagus.
Jika kamu dapat nilai ulangan jelek, pastinya kamu begitu insecure dengan yang lain. Ketika pulang dimarahi orangtua, guru pun sering kali hanya mempedulikan mereka yang mendapatkan nilai bagus. Bintang kelas, juara kelas dan orang-orang cerdas di kelas merupakan anak kesayangan para guru.
Sedangkan kalian yang nilainya di bawah standar, luput dari kepedulian itu.
Oleh sebab itu, anak-anak sering kali belajar mati-matian untuk mendapatkan nilai bagus. Apalagi bagi kalian kalangan mahasiswa yang begitu berambisi agar mendapatkan predikat cumlaude saat wisuda, apapun akan mereka lakukan. Mulai dari yang positif misalnya belajar keras hingga dengan cara-cara curang misalnya dekat dengan dosen, cari perhatian dosen, menyogok dosen, nyontek saat ulangan, dan lain sebagainya.
Memang perlu diakui bahwa kecerdasan dan kepintaran itu sering kali dipatokan hanya dengan nilai-nilai. Angka menjadi standarisasi dalam menentukan pintar dan tidaknya seseorang di dunia pendidikan. Tapi menurut saya, semua itu salah! Nilai rapor, IPK dan nilai ulangan yang bagus itu tidak bisa serta merta menjadi variabel kepintaran seseorang.Â