Boneka. Boneka itu suatu mainan. Mainan yang banyak digemari orang, terutama anak perempuan. Eh, lelaki pun tidak sedikit yang gemar bermain boneka, tapi bukan berarti dia makhluk setengah jadi alias waria. Boneka itu unik, walau tidak mempunyai jiwa dan perasaan, namun boneka itu bisa buat orang asyik. Apalagi, boneka mainan orang tingkat tinggi. Biasanya boneka mainan ini dibuat menyerupai bentuk makhluk. Boneka itu ada yang terbuat dari kayu, kertas, lilin, plastik yang dipermak sedemikian rupa hingga jadi bentuk yang sangat indah dan unik menyerupai bentuk manusia maupun hewan. Bahkan ada yang berbentuk makhluk jadi-jadian.
Namun, bagaimana pula jika yang jadi boneka itu makhluk hidup benaran, seperti manusia? Wah! Celakalah kalau orang sudah jadi boneka orang lain, jadi antek kepentingan orang lain, jadi antek bangsa lain. Apapun bisa dijualnya, apapun bisa dikorbankannya, termasuk harkat dan martabatnya sekalipun bisa dijualnya atau digadaikannya hanya untuk dipertukarkan dengan sebuah imbalan. Bisa jadi imbalan kekuasaan, materi atau kenikmatan bagi dirinya, bagi keluarganya, bagi kelompoknya tapi orang lain merasakan suatu yang menjijikkan. Apalagi kalau orang yang jadi boneka adalah orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan, maka sengsaralah rakyat sebuah negeri.
Di suatu sisi dia bicara begitu piawai mengatakan, “Demi bangsa, demi rakyat, demi keamanan, demi undang-undang, demi kemajuan negara…” Namun di sisi lain, demi kepentingan pribadi, keuntungan pribadi, dia gadaikan nasib bangsa ini pada kepentingan seseorang, kepentingan sekelompok orang atau kepentingan bangsa lain. Imbalannya, dia mendapat jaminan kekuasaan, berlimang kemewahan, kenikmatan berpesta-pora. Sementara, dia tidak peduli akan nasib rakyatnya yang bermandikan air mata darah. Sejarah kelam bangsa ini telah membuktikannya…kuli-kontrak jadi saksi.
Jangan heran dalam perjalanan sejarah bangsa hingga kini, Pemimpin Bangsa ini banyak yang kehilangan hati nurani dan menghambakan diri jadi boneka. Lihatlah, sungguh memuakkan boneka-boneka itu kini bertebaran ada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif pusat maupun daerah. Ada yang jadi boneka sungguhan, terang-terangan, namun ada yang jadi boneka semu. Bahkan, ada boneka yang berkedok LSM. Kini, penampilan boneka sungguh memukau laksana vampir bunglon yang haus darah.
Pakaiannya trendi, mentereng dan modis. Bibirnya berminyak dan berapi-api, apalagi kalau sudah bicara di TV atau media lainnya mampu meyakinkan dan meninabobokan orang. Namun, siapa sangka di balik itu, dia menjual negara dan nasib rakyatnya. Maka, jangan heranlah kalau negeri yang terkenal kaya akan sumber daya alamnya ini, namun rakyatnya masih berkutat dan berkubang dalam kemiskinan. Bukan hanya terjadi di Tanah Deli saja, tapi kini di belahan lain Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan bahkan Papua sungguh ironis.
Lihatlah ulah pemimpin bangsa yang menghambakan diri jadi boneka. Para boneka asyik terlena dan berleha-leha. Akibatnya, negeri cendrawasih bergejolak dan dalam situasi kritis. Tulah para boneka ini membuat “Zat” yang tak tampak, penguasa alam semesta murka. Awan hitam yang terus-menerus berarak-arak menyelimuti negeri cendrawasih tak kunjung sirna. Bisa jadi, ini pertanda negeri cendrawasih lepas dari pangkuan ibu pertiwi. Apalagi, kehadiran Rahwana di negeri cendrawasih sudah tidak bisa dipandang remeh lagi.
Dia berambisi ingin mencuri benda pusaka cendrawasih. Untuk meraih ambisinya itu, kini Rahwana terus-menerus menyebar racun hinoptisnya ke dalam jantung hati bumi cendrawasih. Jangan heran kalau kaki tangan Rahwana ada yang tersamar dan ada yang agresif berusaha menanamkan pengaruhnya dan menciptakan boneka-boneka baru yang lebih loyal pada Rahwana di negeri cendrawasih. Juga jangan heran demi ambisinya Rahwana sudah mempersiapkan ritual besar di Darwin.
Negeri Cendrawasih yang lagi berkalang duka sudah berada dalam jangkauan Rahwana, tiada lagi yang bisa menghalangi hasrat Rahwana, kecuali anak negeri menyadari kebodohannya. Kini, janganlah kau menangis anak negeri, jika Rahwana benar-benar mengambil alih biduk atas negeri cendrawasih.
Mengapa ini bisa terjadi? Tentu karena kebodohan yang mendera dirimu rakyat. Karena kebodohanlah orang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, kemudian hanya bisa saling cakar, saling umpat, teriak-teriak di pinggir jalan. Bahkan tanpa sadar mau di adu domba. Kalau sudah begini bagaimana mau mengurus negeri, yang ada tanpa sadar dan tak punya pilihan menggadaikan ini negeri. Lantas mau dibodoh-bodohi, mau diperbudak, bahkan terpaksa jadi sapi perah sang boneka baru di negeri leluhur. (Prolog yang ada dalam novel: "Rahasia Menembus Mimpi", "Patriot Pengejar Mimpi" atau judul lainnya, "Laskar Pengejar Mimpi").
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H