Berita Kompas.com, menyatakan:
Hasil riset Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada 2015 mengonfirmasi rendahnya penguasaan Matematika pelajar Indonesia. Negara berpenduduk lebih dari 250 juta orang ini hanya berada di peringkat ke-45 dari 50 negara yang disurvei.
Sebagaimana diwartakan harian Kompas (Kamis, 15/12/2016), dibutuhkan pendekatan baru untuk menggenjot minat pelajar Indonesia terhadap pelajaran Matematika.
"Siswa harus dibiasakan berlatih soal-soal non-rutin, belajar dengan alat-alat peraga, lalu guru mengembangkan metode pembelajaran serta penilaian bernalar," ujar Rahmah Zulaiha, peneliti Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Litbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ()
Melihat kondisi daya serap peserta didik di Indonesia masih dikategorikan rendah ini, apakah guru masih terjebak atau belum dapat melepaskan diri dari pola pembelajaran konvensional yang berfahamkan pendekatan behaviorisme dalam proses pembelajaran?
Pendekatan behaviorisme proses pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered). Sementara peserta didik menjadi objek belajar dan pasif dalam proses pembelajaran. Guru menjadi pusat sumber belajar (informasi). Guru secara monoton akan menginformasikan materi yang diajarkan kepada peserta didik secara verbal atau tulis, peserta didik diminta membaca dan mencatat. Seringkali peserta didik diminta untuk menghafalkan materi yang diperoleh tersebut.Â
Guru memberikan latihan-latihan yang berulang (drill) atau tugas yang terkait materi tersebut secara berulang untuk meningkatkan daya ingat peserta didik. Peserta didik diberi tugas mengerjakan soal-soal dan kemudian diperiksa bersama. Peserta didik yang berhasil dalam latihan-latihan itu akan diberikan hadiah (reward) berupa pujian. Sedangkan siswa yang tidak berhasil akan diberikan hukuman (punishment), seperti mengerjakan tugas yang lebih berat.
Metode mengajar yang berdasarkan pendekatan behaviorisme ini sudah harus ditinggalkan karena tidak mendidik. Peserta didik akan belajar lebih banyak karena terpaksa seperti takut dihukum atau dimarahi oleh pengajarnya. Peserta didik lebih banyak yang terjebak dalam metode belajar menghafal, bukan belajar proses untuk memahami materi pembelajaran.Â
Belajar model ini belum dapat mengembangkan kemampuan berpikir membangun konsep atau pemahaman, tetapi mendorong peserta didik hanya mengingat (memorizing) materi yang dipelajarinya. Keadaan ini akan menyebabkan pemahaman yang dangkal dan akan cepat hilang. Sementara, dalam praktek proses pembelajaran di kelas terlihat persentasi peserta didik yang menguasai materi pembelajaran sangat kecil sekali.
 Kalau boleh dibilang peserta didik yang mampu melakukan proses pembelajaran dengan baik hanya 10-20 % saja. Itu pun peserta didik yang dikategorikan anak pintar atau anak cerdas saja yang mampu memaksimalkan kemampuannya dengan mengembangkan pembelajaran secara mandiri. Maka tidak heranlah berbagai penelitian menyebutkan pada umumnya daya serap peserta didik di Indonesia masih dikategorikan rendah.
Kini, kita harus meninggalkan pembelajaran konvensional yang berfaham pendekatan behaviorisme dan beralih paradigma pembelajaran dengan mempergunakan pendekatan konstruktivisme.