Jejak perempuan kelahiran Padang Panjang ketika abad ke-20 menyingsing ini masih membekas hingga kini. Perguruan Diniyyah Puteri yang didirikannya pada 1923 telah mendidik beribu-ribu perempuan dari tanah Andalas sampai negeri Melayu. Pesona perempuan pejuang ini menginspirasi Universitas al-Azhar membuka Kulliyatul lil Banat yang menurut Buya Hamka (1961) belum ada sejak 1000 tahun berdirinya.Â
Ketika kalender berangka tahun 1957, dari universitas di Mesir itu, ia memperoleh gelar syekhah. Gelar kehormatan tertinggi agama ini sepadan dengan gelar doktor, bahkan profesor atau guru besar (Azyumardi Azra, 2014). Sepanjang sejarah belum pernah perempuan mendapatkan pengakuan tersebut. Indonesia telah mencatatkan Rahmah El-Yunusiyyah sebagai sang pemula.Buku ini meriwayatkan sang pemula itu. Namun, ia tidak berlayar di lautan pendidikan semata. Ia pun menantang ombak kolonialisme Belanda dan mendayung perahu Giyugun menuju pulau kemerdekaan. Di atas pulau ini, ia menyemai tunas dan memupuk subur tentara nasional. Â Ia terterpa bara penjajahan, ia pun basah kuyup dalam hujan revolusi. Gunung Singgalang dan Merapi menyaksikan tapak gerilyanya. Kursi parlemen sempat pula diduduki perempuan pejuang pendidik ini.
Rahmah El-Yunusiyyah terlalu indah untuk dilupakan, dan buku ini dipersembahkan untuk Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H