Saya melihat ke papan pengumuman dengan mulut terkatup. Badan saya kaku. Sahabat saya sampai mengoncang-ngocangkan badang saya. “Kenapa bro?”. Aku melirik ke arahnya lalu menggeleng.
“Okelah kalau begitu”, iapun berlalu.
Mataku kembali terfokus pada salah satu tugas yang harus aku lakukan dalam masa orientasi mahasiswa di Institute Pertanian Bogor. Aku melihat ada kata menulis. Ya, aku harus menyusun sebuah artikel sepanjang 10 lembar.
Aku menelan ludah. Bagaimana aku menyelesaikannya. Sedari dulu mengarang dan membuat artikel adalah hal yang paling aku takutkan dan benci. Ini mimpi buruk. Lebih baik aku diminta berlari mengeliling Kota Bogor daripada harus membuat paper.
Demi membuat artikel 10 lembar, aku harus mengunjungi rumah saudaraku di Depok. Aku ingin meminjam mesin tiknya. Meskipun menjelang milenium kedua, namun aku masih awam dengan komputer.
Saat yang tepat, malam hari. Aku sudah membuat posisi yang nyaman di atas bangku. Aku menarik nafas, memejamkan mata. Di hadapanku mesin tik dengan kertas tergulung sudah menunggu. Mulailah aku memecet-mencet tuts dengan terbata-bata.
Ini adalah kerja keras buatku. Keringatku bercucuran meskipun tubuhku dingin. Kadang aku berpikir keras hingga kepalaku pusing.
Itu aku lakukan selama kurang lebih 6 jam. Dan hasilnya. Aku minta adikku membacanya. Namun seketika ia menaham mulutnya. Tapi tidak biasa. Ia lalu tertawa lepas.. “Tulisan abang lucu. Kayak tulisanku, menuh-menuhi lembar dan mengebooingi Ibu siti. Tulisannya kebanyak kata penghubung, bang”.
Aku kelu. Tapi ini adalah artikel pertama sejak 6 tahun yang lalu, saat aku diminta mengarang tentang orang tuaku saat SD.
Tapi waktu semakin mempet. Aku tidak bisa lagi mengulang. Karena waktu sudah mendekati subuh, dan aku harus kembali ke Bogor.
Alhasil dengan rasa tidak percaya diri aku menyerahkan tulisanku. Seorang senior membaca tulisanku. Lalu ia berlari ke arah teman-temannya. Terlihat berbisik. Lalu ha.....ha....ha....ha. Mereka tertawa geli. Aku tertunduk malu.
Titik Balik
Aku semakin yakin jika aku tidak berbakat menulis. Membuat artikel hanya akan membuatku terlihat bodoh.
Hingga suatu ketika tertarik untuk mempelajari filsafat, sosiologi dan psikologi. Aku membaca banyak buku tentang itu secara kritis. Aku bahkan memiliki pemikiran sendiri. Teman-temanku mulai mengenali sebagai seorang pemikir dan ahli debat.
Namun komentar sahabatku sedikit mengelitik pikiranku. “ Bro, untuk apa semua itu kamu pelajari jika ini hanya untuk kesenangan belaka”.
“Jadi, menurut mas Rudi, apa yang harus aku lakukan? Toh tidak ada yang percaya jika aku mengerti filsafat, karena akan anak pertanian”.
“Menulislah! Jangan jadi hedonis”, kritiknya.
Menulis. Aku selalu gemetar mendengar kata ini, apalagi jika dikaitkan dengan diriku.
Namun aku merenung di kamarku. Lalu melihat buku-buku yang sudah ratusan tertumpuk di kamarku.
“Benar juga. Untuk apa ini semua, jika orang tidak menginspirasi banyak orang”.
Untuk pertama kalinya aku berpikir untuk mencoba menulis. Namun agar tidak langsung berhadapan face to face dengan traumaku, aku mencari buku-buku motivasi penulisan.
Salah satu buku yang menarik, dan cukup inspiratif, adalah ditulis oleh seorang penulis internasional (saya lupa judulnya). Ia mengatakan, jika ingin menjadi penulis hal yang penting dilakukan adalah menjadikan menulis sesuatu yang menyenangkan. Lalu ia menyarankan, untuk tujuan ini, menulislah tanpa memikirkan seperti apa hasil akhirnya, apakah kalimatnya bagus atau tidak. Namun menulislah layaknya seorang anak kecil menggores-goreskan di kertas secara bebas sambil tertawa lebar.
Di bagian lain ia mengajak seorang penulis pemula untuk menuliskan sesuatu tentang dirinya. Tulislah tentang diri Anda, pengalaman Anda dan pemikiran Anda. Tidak perlu khawatir seberapa benarnya itu, namun jadikan menulis sebagai kegiatan yang privat. Lalu tidak ada cara yang paling tepat untuk meningkatkan kemampuan menulis selain dari menulis, menulis dan menulis.
Buku ini sangat menggetarkanku. Akupun mulai menulis mengikuti sarannya. Aku mengerjakan tanpa kecemasan. Aku tidak perduli dengan hasil akhirnya. Aku teringat bagaimana guru-guruku menanamkan kecemasan saat mengajarkanku mengarang. “Hendra, tulisan kamu tidak logis”, kata Pak guru kepadaku saat masih duduk di kelas 5 SD.
Akupun menetapkan komitmen pada diriku. “Hendra, kamu harus menulis setiap hari”. Lalu aku terkaget-kaget saat membaca kumpulan cerpen karya Franz Kafka, seorang seorang cerpenis asal Ceko. Beberapa karyanya hanya sepanjang 1 alinea. Itu sudah mewakili salah satu karyanya. Meskipun untuk tulisan lainnya ia bisa menulis hingga berlembar-lembar.
Jadi, sebuah karya menjadi karya ketika aku menuliskannya tuntas. Jauh lebih berarti menulis 3 lembar tapi selesai daripada 10 lembar tidak tuntas. Maka saat menetapkan menulis setiap hari, saya wajib membuat karya dan menyelesaikan, meskipun hanya 3 lembar atau 1 alinea.
Aku lakukan setiap hari. Dan benar. Ketika aku menuliskan “tentang diriku” aku merasakan adanya kesenangan. Menulis perlahan tidak hanya menjadi rutinitas, namun juga menjadi candu. Jika tidak menulis rasanya sendi-sendiku terasa ngilu.
Terjadi Keajaiban
Perlahan tapi pasti tulisanku semakin hari semakin baik. Buku-buku yang ku baca ternyata menjadi sumber inspirasiku dalam menyusun tulisan agar mudah dipahami.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya. Keajaiban. Tidak terasa aku telah memiliki ratusan tulisan berbagai bidang. Hingga aku berpikir untuk membuat buku, setelah membaca artikel cara menyusun naskah untuk buku. Aku kumpulkan tulisan yang memiliku tema sejenis. Aku rancang agar memiliki benang merah. Lalu kusempurnakan dengan penambahan materi.
Dan........2 tahun sejak aku pertama kami menetapkan diri untuk menulis setiap hari, naskah pertamaku tuntas dengan judul “ Berpikir seperti Filosof”. Dengan ragu aku kirimkan ke sebuah penerbit di Yogyakarta. Pada saat yang bersamaan naskah kedua tuntas yang bertemakan “waralaba benih kelapa sawit”, dan menyusul naskah ketiga tentang pemeliharaan ikan koi aku kirimkan ke penerbit.
Tidak sampai setahun, naskah pertamaku terbit. Aku tidak percaya ketika mendapatkan info jika buku akan segera dicetak. Tidak lama berselang, sekitar 6 bulan kemudian buku kedua dan ketigaku terbit. Teriakku memekik hingga membangunkan istriku, saat membuka surat pemberitahuan terbit dari penerbit besar.
Hanya dalam waktu 2 tahun belajar aku bisa menyelesaikan 3 naskah dan berhasil menembus penerbit. Ada banyak banyak hikmah yang bisa aku pelajari dari pengalaman ini. Menulis itu adalah sesuatu yang dipelajari, bahkan sampai ketika aku sudah merasa bahwa aku tidak berbakat bahkan benci dengan aktivitas ini.
Kunci sukses menjadi penulis adalah menyukai menulis, berlatih setiap hari dan publikasikan karya. Itu juga rumus yang aku coba ajarkan ke para penulis pemula, dan ternyata cukup manjur.
Meskipun tadinya aku benci menulis, namun saat ini aku mencintainya karena banyak kesenangan yang bisa aku peroleh dari kegiatan kecil ini.
Sumber: konsultasimenulisbuku.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H