Umat Muslim baru saya menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, dan merayakan hari kemenangan. Kegembiraan yang luar biasa yang diwarnai dengan perayaan yang luar biasa. Baju baru, mudik mengunjungi orang tua, menyiapkan dan menyantap makanan yang terlezat yang tidak bisa dinikmati di hari-hari biasa, menggunakan tabungan selama setahun untuk bergembira bersama keluarga.
Namun ketika saya mencoba mengkaji dan mengurai lebih dalam tentang esensi berpuasa, yang juga dipraktekkan oleh agama yang saya yakini dan banyak agama lainnya ternyata saya mendapatkan sebuah makna yang lebih mendalam. Dan yang menarik adalah Jokowi, Prabowo, SBY, Hatta, bahkan Suryadrama Ali juga berpuasa. Lalu apa makna dari itu semua?
Ensensi Puasa
Sesungguhnya tidak hanya Islam yang mengenal ibadah puasa. Agama besar lainnya seperti Kristen, Yahudi dan Hindu mempraktekkan ritual ini. Namun yang menarik adalah sebagian agama tersebut menyakini bahwa “berpuasa” adalah sebuah aktivitas spiritual yang lebih condong kepada kegiatan kontemplasi.
Dalam tradisi mistisme Yudaisme, penciptaan alam merupakan wujud penderitaan Tuhan yang mengosongkan diri memberikan bagi kehidupan, ketika Tuhan dianggap sebagai keseluruhan alam semestra. Sehingga tradisi mengosongkan diri adalah sebagai pengulangan kembali proses penciptaan dan penderitaan bagi sebagian kalangan Yahudi adalah hakiki kehidupan yang salah satu bagiannya adalah berpuasa.
Demikian juga berbagai agama seperti Kristen, Hindu, berpuasa, mematikan hawa nafsu adalah prasyarat untuk dapat merasakan hadirat Tuhan. Dalam praktek kejawen yang memiliki kaitan dengan tradisi Hindu di masa lalu menjadikan puasa, sebagai bagian dari aktivitas mematikan hawa nafsu, untuk dapat menjernihkan mata batin untuk melihat jalan yang benar untuk bersatu kepada Ilahi yang imanen. Orang Kristen juga berpuasa ketika mengharapkan mujizat berlangsung dalam kehidupannya atau ingin mendengarkan suara Tuhan untuk keputusan yang harus ia ambil.
Sehingga menurut saya adalah sebuah keistimewaan bagi umat Muslim untuk memiliki waktu setiap bulan menjalankan ibadah suci. Dimana Anda tidak hanya perlu melakukan namun juga harus. Juga menjadi masa dimana ruang profan Anda terserapi ruang sakral. “Kami harus menahan diri untuk tidak melakukan hal yang buruk, tidak sekedar tidak makan dan minum. Ini adalah ibadah yang harus kami lakukan untuk mendapatkan pahala Tuhan”, jelas sahabat saya. Dan prinsip itu tidak hanya mereka lakukan di ruang ibadah seperti mesjid, mushola, tapi di ruang kerja, tempat umum, saat berbagai hal yang dapat membangkitkan hawa nafsu mereka terpampang dengan jelas.
Hasil apa yang kemudian bisa Anda peroleh sehingga Anda perlu merayakan di akhir pelaksanaan ibadah suci ini? Saya tidak memiliki penjelasan apapun tentang hal ini. Jikapun dikatakan pahala, tentu tidak ada yang mengetahui berapa besar yang Tuhan berikan akibat keberhasilan Anda melakukan ibadah, sehingga bisa saja Anda mendapatkan nilai 1 sementara sahabat anda mendapatkan 10, lalu apa dasar Anda merayakan keberhasilan dalam ibadah sakral ini?
Apakah kegembiraan yang kita rasakan hanya sebuah internalisasi nilai-nilai sosial dalam diri Anda. Bahwa kebahagian yang Anda rasakan tidak lain adalah pengalaman menyenangkan yang tersimpan dalam alam bawah sadar Anda pada masa kecil Anda ketika orang tua Anda memberikan pujian dan hadian yang luar biasa ketika Anda pertama kali sukses melakukan ibadah sebulan penuh?
Saya pernah membaca kehidupan dari sosok pemikir Islam yang terkenal Imam Al Gazali. Barangkali banyak orang muslim yang mengikuti pandangan tentang filsafat. “Tidak ada ruang Filsafat bagi Islam”, serta pemikirannya yang lain tanpa mengenal lebih dalam sisi spiritual yang tokoh. Ia adalah seorang pemikir hebat. Ia hidup pada era dimana Peradaban Islam menjadi pusat perkembangan intelektual. Ia seorang filsuf dan seorang intelektual sejati. Kepandaian yang ia miliki berkontribusi terhadap kehidupannya yang mapan secara ekonomi. Namun melalui pengalaman spiritual yang ia alami merubah keyakinannya dan pemikiran. setelah beberapa waktu menyendiri dan raib dari ruang publik, saya menduga iapun melakukan praktek puasa, baginya apa yang ia anggap terbaik, semuanya adalah kesia-siaan. Bahkan harta dan status yang ia miliki. Pertemuan dengan Tuhan secara pribadi membuat ia merasakan kebahagian puncak yang belum pernah ia raih selama ini, dan menggerakkan sisi militansinya untuk menyebarkan pemikiran tentang ajaran Islam yang saya duga tujuannaya agar lebih banyak orang muslim juga mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa.
Jadi hasil ini yang mungkin Anda alami dalam ibadah puasa. Saya juga menghubungkan dengan berbagai esensi ibadah pengosongan diri dalam sejumlah agama besar yakni untuk bisa bersekutu dengan Tuhan, maka mencapai pengalaman spiritual dan atau mengalami pengalaman puncak, hingga pandangan Anda terpusat kepada Tuhan, adalah sesuatu yang Anda raih dan Anda perlu rayakan. Sang Maha Pencipta yang Maha Besar menjadi sangat dekat dengan diri Anda. Dan merubah mental Anda menjadi sosok Al Ghazali masa kiniyang moralis, mencintai humanisme, dan tidak lagi silau terhadap daya tarik keduniawian.
Pemimpin yang Berpuasa
Lalu saya berandai-andai jika semua pemimpin yang berpuasa, mulai dari Presiden hingga pemimpin paling bawah di tingkat kecamatan juga menjadi Al Ghazali, Al Ghazali baru, yang mengenal Tuhan dengan baik, maka mereka akan menjalankan suara Tuhan dalam kepemimpinan mereka. Maka bagi mereka korupsi adalah haram. Mementingkan kepentingan pribadi adalah sebuah kebusukan. Mereka bahkan siap melakukah segala hal untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik karena suara Tuhanmengharuskan demikian.
Sehingga alhasil tidak ada harga barang-barang pokok yang mahal ketika pemerintah sedari awal serius menangani pertanian lepas dari kepentingannya. Tidak ada jalan yang rusak, jembatan yang putus karena pemerintah mengharuskan seluruh proyek dilakukan dengan benar, dan tidak memperkenakan adapun kerusakan yang tidak berarti. Tidak ada banjir, tanah longsor, ketika pemimpin mengindahkan pelestarian lingkungan. Tidak ada anak jalanan, tidak orang yang kelaparan, tidak ada perempuan yang menjadi TKI, WTS. Tidak ada kapal tenggelam, pesawat yang jatuh dsb. Karena saya percaya pemerintah mampu mewujudkan hal yang terbaik bagi masyarakatnyadengan apa yang mereka miliki yakni dana, regulasi, bawahan, sarana serta pikiran dan hati nurani. Ketika seorang pemimpin mampu mengelaborasi seluruh aset tersebut maka kehidupan orang-orang yang ia pimpin dan layani akan lebih baik.
Hanya saja hal itu tidak terjadi. Apa yang kita lihat adalah kebobrokan ada dimana-mana. Padahal setiap bulan kita dan para pemimpin di republik ini menjalankan ibadah selama 1 bulan setiap tahunnya. Lalu dimanakan Al Gazali- Al Ghazali Indonesia itu? Apakah mereka tidak ada? Lalu jika para pemimpin negara yang seharusnya menjadi Al Gazali dari tahun-tahun sebelumnya namun belum menjalankan suara Tuhan, lalu siapakah mereka sesungguhnya setelah bulan Rhamadhan berlangsung?
Saya tidak mampu menjawab hal tersebut karena pengalaman spiritual adalah hal yang sangat personal. Bahkan sayapun bisa terlihat sangat rohaniawan dan berwajahteduh meskipun hati saya busuk. Tentu ini menjadi refleksi bagi kita semua. Dan bisa saja Jokowi yang belakangan ini disoroti sebagai sosok yang kurang Islam dalam berbagai kampanye negatif, merupakan Al Gazalian Indonesia daripada Suryadharma Ali yang terlihat lebih paham agama, yang tampak dari track record kepemimpinannya. Bisa juga Prabowo menjadi lebih Al Ghazali meskipun mendapatkan tuduhan pelaku HAM berat daripada SBY yang lebih santun. How know? Hanya Tuhan yang tahu,tapi kita hanya bisa menilai dari perbuatan mereka.
Hendra Sipayung
Penulis/Ghostwriter
PIN 3291858E
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H