Mohon tunggu...
Hendra Halomoan Sipayung
Hendra Halomoan Sipayung Mohon Tunggu... Penulis dan konsultan pencitraan -

Saya adalah seorang penulis buku, ghostwriter, marketing online, personal brand consultant. Tinggal di Depok dan bekerja di daerah Ragunan, Jakarta Selatan. Saya bisa dihubungi di nomor 085925077652..Situs: http://konsultasimenulisbuku.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Curi Kota Bogor

4 Agustus 2014   14:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:28 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, beberapa hari setelah lebaran, saya mengunjungi kota Bogor. Ketika itu saya akan mengunjungi keluarga di daerah Cikaret. Meskipun dalam suasana liburan mata saya tetap dihibur oleh lalu lintas yang seberaut. Jalanan yang rusak. Beberapa sisi kota yang kumuh.

Ketika melintas di depan Istana Bogor, yang dulu saya anggap adalah tempat yang sangat sakral dan terhormat, mulai dibanjiri para pengunjung, sejumlah mobil pakir tepat di depan pagar istana yang pada sisi lain terdapat rambu bertanda S diberi silang. Pedagang terlihat menawarkan wortel, beberapa Ibu melakukan tawar menawar. Dan sejumlah anak yang memberi rusa makan dengan wortel lalu melempar bagian yang tidak termakan ke jalanan. Namun dibalik keceriaan tersebut, suasana di depan istana bogor mulai mirip tepi jalan yang berbatasan dengan kebun raya di daerah pasar Bogor. Kumuh dan kotor.

Ketika saya membuka kaca mobil, anak saya berkomentar. “Papi tutup kacanya, di luar panas”. Tujuh tahun yang lalu Bogor tidak seperti ini, nak, waktu  Papamu masih kuliah di sini, komentar saya dalam hati.

Tepat di depan BTM, salah satu mall yang cukup ramai di bogor, saat akan berputar ke arah Empang, saya dihadapkan dengan angkot yang berhenti seenaknya, polisi cepek yang mengatur lalu lintas sesuka udelnya. Hasilnya, kemacetan yang tidak perlu. Maka saya harus berlaku impulsif. Mobil saya lajukkan bak gerakan kuda yang tengah memperebutkan posisi terdepan di arena pacuan. Namun tiba-tiba sebuah motor memotong kendaraan saya hingga hampir tersenggol bemper mobil saya. Emosi saya tersulut. Namun motor tersebut raib di antara sela-sela mobil yang menumpuk dan saya hanya bisa mengumpat.

Sesampainya di Cikaret  saya singgah di rumah salah seorang saudara di kompleks pemerintah. Anak saya kembali mengeluh. “Di sini banyak nyamuk papa”. Dengan sigap, bak super hero, saya menyelamatkan anak saya dari serangan nyamuk kecil yang sengatannya terkenal cukup tajam. Dan saat melanjutkan perjalanan ke arah Sekolah Perikanan mobil saya serasa mengikuti perlombaan off road, karena harus melintas di jalanan yang berlubang layaknya comberan kerbau. Beruntung tiba-tiba terjadi hujan deras,dan aliran sungai alamiah terbentuk, karena selokan tidak mampu menampung air.

Sayapun tiba di rumah orang tua dengan komentar penuh kemenangan, “Huffff”.

Inilah Bogor yang kita kenal saat ini. Jalanan yang macet penuh dengan angkot. Kebun raya yang sebagian arealnya tidak lagi digunakan menanam pohon tapi dijadikan areal bemain, bahkan konon ada café di dalamnya yang terbuka hingga larut malam. Pasar Bogor yang macet karena di atas jam 9 malam berubah menjadi pasar raya.

Pohon-pohon tinggi yang semakin berkurang populasinya. Banjir di berbagai titik meskipun Bogor dataran tinggi. Jalanan yang rusak. Nyamuk yang semakin merajalela karena udara Bogor yang semakin panas.  Keindahan kota bogor, pemandangan pegunungan semakin eksklusif milik orang berduit, karena lokasi-lokasi yang pas untuk melihat hal tersebut telah dikuasai oleh hotel, restoran dan untuk bisa masuk ke dalamnya Anda harus membayar.

Berbeda dengan 20 tahun lalu ketika saya pertama kali menginjakkan kaki ke Bogor, saat masih duduk di bangku SMP. Sangat asri, angkot masih minim, bemo masih menjadi raja. Udaranya sejuk, kebun raya bogor benar-benar menjadi tempat penelitian dan bukan menjadi ikon wisata. Mall hampir tidak ada. Rumah-rumah tua tertata indah dan belum berubah menjadi Factory Outlet atau rumah makan.  Bagi saya kala itu Bogor sangat indah dan nyaman mengalahkan kota asal saya Pemantang Siantar di Sumatera Utara yang juga di dataran tinggi.

Lalu bagaimana dengan 20 tahun sebelumnya lagi, saat orang tua saya pernah tinggal di Bogor (ayah saya kuliah di IPB). Ia menuturkan hal yang lebih menarik. Bogor itu sangat indah, sangat nyaman. Udara sejuk. Hujan turun setiap hari. Ia harus mengingatnya dengan tarikan nafas dalam dan sorot mata penuh haru. Mereka tidak perlu takut berjalan di jalan besar karena tidak ada angkot yang bakal menyenggol. Makanannya lezat pas dengan udaranya yang sejuk, terutama tahu pongnya. Matahari jarang terlihat.. Suasana teduh dan tidak terjadi hiruk pikuk.

Lalu pertanyaannya, kemana semua itu? Perubahan kota bogor, hilangnya kenyaman di kota yang indah ini, tidak sepenuhnya karena terjadinya pertambahan populasi, climate change, pemasanan global dsb. Tapi karena ulah manusia. Karena pembangunan yang tidak terencana. Pendirian bangunan yang tidak memiliki spirit  dan  hanya bersifat satu dimensi yakni, mengeruk uang.   Izin angkot yang dikeluarkan secara serampangan. Kota yang tidak konsern dengan ruang terbuka, jalur hijau. Petugas yang tidak tegas menindak pedagang yang mangkal sembarangan termasuk di depan istana negara yang suci. Pejabat yang merasa asli orang Bogor dan mengenal Bogor tapi kenyataannya tidak punya konsep apapun di pikirannya, jangankan filsafat pembangunan, visi saja mereka tidak punya. Saya bisa merasakan aroma “uang, keuntungan” dalam arah pembangunan kota bogor.

Dalam sebuah tulisan tua tentang kota Bogor saya bisa menemukan bagaimana orang asing memuja keindahan kota Bogor di masa lalu. “Tuhan menciptakan  Buitenzorg (nama Bogor dalam Bahasa Belanda) sambil tersenyum”.  Para penjajah telah mengubah hutan belantara menjadi sebuah kota pesinggahan yang nyaman, mendirikan istana, pemukian yang rapid an pusat penelitian terbaik menghasilkan sebuah harmoni. Namun harmoni itu raib saat ini.  Kitalah yang mencurinya. Kita bahkan tidak lebih baik dari para penjajah, yang kita anggap penghisap, dalam mengelola kota ini. Atau jangan-jangan para pejabat dan kita memiliki pikiran dan sikap yang lebih buruk dalam memperlakukan kota Bogor ini dari para para menir dimasa lalu. Siapa yang tahu? Hufff.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun