Saya sebagai masyarakat awam harus sepakat dengan pernyataan Bapak Kapolri “Agar rumah tidak digunakan sebagai tempat ibadah”, sebagai respon beliau terhadap kasus pembubaran dan penganiayaan jemaat Katolik yang terjadi di Kompleks Perumahan STIE YKPN, Ngaglik, Sleman dan kasus perusakan bangunan di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman yang dipakai umat Kristen untuk menjalankan kebaktian. Di mata saya, sebagai abdi hukum tentulah statement beliau memiliki landasan hukum dan logika yang tegas.
Hanya, sebagai orang dengan pengetahuan terbatas, ada banyak pertanyaan yang muncul dalam benak saya yang ingin saya tanyakan langsung kepada Bapak Sutarman, sebagai pemimpin salah satu aparatur penegak hukum, atau kepada para pejabat di pemerintahan yang mengerti masalah ini.
Pertanyaan yang muncul pertama kali dalam pikiran saya adalah menyangkut kata “ibadah”. Apakah sesungguhnya menjadi makna dan cakupan dari kata itu. Tentu saya sepakat bahwa ibadah minggu atau salat jumat harus dilakukan di tempat ibadah. Dimana ibadah tersebut memiliki rangkai yang sifatnya berulang.
Dalam ibadah minggu berlaku urutan pelaksanaan:
- Pendeta bersama dengan penatua memasuki ruang gereja. Biasanya jemaat menghantarkan dengan nyanyian rohani.
- Penyambutan jemaat. Pendeta membuka dengan ucapan syukur kepada Tuhan. Kemudian berlanjut pada nyanyian jemaat
- Prosesi penghapusan dosa. Pendeta membacakan liturgis pengakuan dosa dan diakhiri pembacaan ayat alkitab terkait dengan berita penghapusan dosa. Lalu jemaat menyanyi
- Mendengarkan kotbah pendeta
- Selepas kotbah paduan suara menyanyikan koor
6. Menyatakan iman kepercayaan.
- Kolekte, diiringi nyanyian jemaat.
- Doa Syafaat. Kemudian dilanjutkan dengan nyanyian jemaat.
- Berkat
Sedangkan salat Jumat tahapannya kurang lebih demikian
- (Pada beberapa masjid) mengumandangkan Adzan Dzuhur sebagai adzan pertama
- Khatib naik ke atas mimbar setelah tergelincirnya matahari (waktu dzuhur), kemudian memberi salam dan duduk.
- Muadzin mengumandangkan adzan sebagaimana halnya adzan dzuhur. Pada beberapa masjid adzan ini adalah adzan kedua.
- Khutbah pertama: Khatib berdiri untuk melaksanakan khutbah yang dimulai dengan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Kemudian memberikan nasihat kepada para jama’ah, mengingatkan mereka dengan suara yang lantang, menyampaikan perintah dan larangan Allah SWT dan RasulNya, mendorong mereka untuk berbuat kebajikan serta menakut-nakuti mereka dari berbuat keburukan, dan mengingatkan mereka dengan janji-janji kebaikan serta ancaman-ancaman Allah Subhannahu wa Ta'ala.
- Khatib duduk sebentar di antara dua khutbah
- Khutbah kedua : Khatib memulai khutbahnya yang kedua dengan hamdalah dan pujian kepadaNya. Kemudian melanjutkan khutbahnya dengan pelaksanaan yang sama dengan khutbah pertama sampai selesai.
- Khatib kemudian turun dari mimbar. Selanjutnya muadzin melaksanakan iqamat untuk melaksanakan salat. Kemudian memimpin salat berjama'ah dua rakaat dengan mengeraskan bacaan
Ini adalah format adalah yang kita sebuat sebagai aktivitas ibadah yang berlangsung di rumah-rumah ibadah. Lalu pertanyaan yang meresahkan pikiran saya adalah, apakah kata ibadah mengacu seluruh komponen tersebut? Bagaimana dengan kegiatan salat, membaca shalawat, melakukan doa bersama, menelaah alkitab yang dilakukan secara parsial, bagian dari rangkaian tata seremoni di gereja atau mesjid, apakah dapat dikatakan ibadah, ? Pertanyaannya saya selanjutnya apakah ibadah yang dilakukan oleh jemaat Katolik tersebut mereplikasi keseluruhan tata seremoni yang berlangsung di gereja sehingga dikatakan sebagai ibadah? Jika ternyata jemaat tersebut hanya berdoa dan membaca alkitab, tanpa ada ekaristi, tanpa adanya liturgis, apakah kita bisa mengatakan aktivitas tersebut ibadah?
Saya perlu menyakan hal ini karena faktanya umat Kristen yang melakukan doa rosario (seperti salah satu aktivitas di Yogya yang menjadi target pembubaran) kebaktian lingkungan, melakukan penelaan alkitab di rumah jemaat tidak jarang mendapatkan intimidasi dari sekelompok orang dengan dalih “pemukiman bukan tempat ibadah”. Jadi agar konsisten dengan kondisi faktual maka saya simpulkan, ibadah mencakup seluruh atau bagian dari aktivitas seremoni di tempat ibadah. Jadi salat, doa, mendengarkan adzan, membaca alkitab, dsb adalah ibadah. Saat Pak Sutarman menambahkan, “ibadah yang dilakukan secara rutin harus mendapatkan izin dari pemerintah”. Maka pemahaman saya adalah, seluruh kegiatan ibadah, apapun bentuknya, doa, salat, kebagian keluarga, pengajian, yang pelaksanaannya berkala, setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan harus mendapatkan izin dari pemerintah.
Hal ini kembali menimbulkan pertanyaan yang menggelitik. Apakah ketika satu atau lebih orang:
- Mendengarkan lagu rohani atau adzan setiap hari di rumah secara rutin, yang bagian dari rangkaian aktivitas di rumah ibadah
- Membaca Alkitab dan Al’quran yang juga bagian dari rangkaian aktivitas ibadah ketika dilaksanakan di rumah secara rutin
- Doa keluarga, yang juga bagian dari rangkaian ibadah di rumah ibadah secara rutin, ketika dilakukan di rumah. Maka semuanya itu membutuhkan izin dari pemerintah.
Lalu terkait pelaku pengrusakan, beberapa pertanyaan bodoh muncul dalam benak saya. Pak Sutarman mengatakan bahwa agar tidak terjadi kejadian demikian maka rumah tidak dijadikan tempat ibadah. Lalu apakah ini berarti tindakan itu dibenarkan? Saya coba beranalogi, jika saya mendapatkan kekerasan karena berjalan sambil menenteng sebuah alkitab, yang pasti bukan narkoba, senjata tajam, atau benda berbahaya, apakah seorang aparat pantas menyalahkan saya, “Makanya kamu jangan bawa alkitab ke luar rumah nanti kamu mendapatkan kekerasan”, katanya dengan ketus. Atau, karena memelihara jenggot dan melipat ujung celana maka wajar seseorang menampar saya dengan keras, saat melewati kompleks perumahan yang mayoritas penghuninya beragama Kristen, karena menganggap saya teroris, sehingga seorang polisi bisa berkata, “Maka jangan pelihara jenggot dan melipat celana biar orang lain jangan iseng dengan Anda”. Ini tentunya analog dengan seorang wanita yang mendapatkan pelecahan seksual dari teman sekantornya karena ia terlalu cantik dan menggoda, maka seseorang bisa menyalahkan si wanita dengan mengatakan, “Makanya kamu jangan terlalu cute, mbak, karena itu kamu mendapat masalah”.
Indonesia adalah negara ber-Ketuhanan. Dalam keyakinan seluruh agama di Indonesia, Tuhan itu tidak memiliki batasan geometis dan waktu. Tuhan tidak hanya bermukin di tempat ibadah. Ia ada di mana-mana. Di rumah, di kantor, di gunung, di angkasa, di bumi, di Mars, dimana saja. Sehingga sebagai wujud keimanan kita kepada Tuhan, agar hati kita tetap bersih, dan terhindar dari godaan setan yang juga ada dimana-mana untuk memikat manusia melakukan kejahatan, seperti korupsi, menyodomi anak kecil, membohongi publik, menyakiti kaum minoritas, melakukan black campaign, mengeksploitasi orang kecil, dan kejahatan keji lainya, maka manusia Indonesia harus selalu mendekatkan diri dengan Tuhan. Ia harus sering berdoa atau beribadah, untuk berkomunikasi dengan Sang Khalik agar mendapatkan penguatan.
Dalam kaitan itu, ketika saya berdoa atau beribadah (menurut pengertian parsial) setiap hari di mobil saya yang reot agar dekat dengan Tuhan, apakah saya harus mendapatkan izin dari pemerintah dulu, ketika fungsi kendaraan saya pada dasarnya adalah alat transportasi? Lalu bagaimana dengan orang mencari Tuhan di gua, gunung, makam tokoh ternama, di atas tanah negara, misalnya bertapa secara rutin di gunung Ceremai, apakah tidak seharusnya mereka mendapatkan izin terlebih dahulu? Lalu bagaimana dengan keluarga yang tinggal di daerah terpencil, di tengah hutan, dan harus menempuh 10 km dengan resiko kemungkinan bertemu harimau untuk menemukan mesjid atau gereja. Apakah berarti anggota keluarga tersebut tidak boleh beribadah di rumahnya secara rutin karena tidak memperoleh izin, yang berarti mereka tidak boleh menyapa Tuhan, yang seolah-olah hanya ada di rumah ibadah?
Bagaimana jika suatu ketika kampung saya menghadapi ancaman yang sangat mengerikan, misalnya saja gunung yang berjarak beberapa km dari desa saya meledak. Dan saat-saat gentinglah orang semakin ingat Tuhan. Kamipun berdoa setiap hari untuk menaklukkan ketakutan kami. Hanya itu yang bisa kami lakukan saat terperangkap di desa kami dan tanpa bisa mengungsi. Lalu beredar kabar jika lahar yang bersumber dari kawah gunung tersebut tengah bergerak menuju desa kami. Sehingga untuk mengatasi rasa takut yang luar biasa kamipun berdoa dan beribadah, dengan harapan Tuhan akan menurunkan hujan dan memberikan mujizat sehingga lahar itu menjauhi pemukiman kami. Lalu dalam kondisi demikian apakah keluarga kami perlu menelpon kantor kelurahan atau kantor Bupati untuk mendapatkan izin beribadah? Atau kami harus menahan diri untuk tidak berdoa atau beribadah setiap hari (rutin berarti) karena tidak ada izin dari pemerintah?
Ini adalah pertanyaan konyol yang menggambarkan betapa dangkalnya daya nalar dan pengetahuan saya. Hanya saja pikiran saya masih terus berkecamuk. Itu sebabnya saya berharap dapat menentramkannya melalui jawaban dari para aparatur pemerintah yang mengerti hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H