Beberapa bulan yang lalu, Indonesia di gegerkan dengan bocornya rekaman pembicaraan yang melibatkan seorang pejabat tinggi negeri ini. Yang bikin geger rekaman tersebut karena intinya isinya membicarakan tentang kontrak PT Freeport, permintaan saham dan juga menyebut nyebut nama menteri, Presiden dan Wapres RI. Kasus yang tenar dengan nama Papa Minta Saham. Kasus ini diangkat oleh Menteri ESDM waktu itu Sudirman Said (SS). Ketua DPR (waktu itu juga) Setya Novanto (Setnov) langsung menjadi pesakitan dan sudah menjadi “korban” pengadilan media. Di lain pihak, SS sebagai pelapor mendapat banyak apresiasi dari publik mengingat “keberaniannya” mengungkap kasus sensitif ini. Ditambah lagi sikap yang diperlihatkan anggota MKD DPR dalam sidang yang cenderung membela Setnov dan menyudutkan SS. Tak salah masyarakat kemudian memplesetkan MKD menjadi “Mahkamah Kehormatan Dagelan.
Kasus besar ini juga kemudian menarik perhatian Kejaksaan Agung. Kejagung bahkan melabeli kasus Papa Minta Saham ini dengan istilah “permufakatan jahat”. Tapi Setnov merupakan politisi berpengalaman dan lihai. Menghadapi emosi publik ia bersikap tenang. Tidak ada perlawanan berarti yang ia tunjukkan. Sepertinya Setnov sangat paham dengan psikologis masyarakat Indonesia yang mudah tersulut emosinya akan suatu kasus namun mudah pula melupakannya.
Masyarakat Indonesia juga mudah memaafkan dan mudah puas. Inilah mungkin jurus yang digunakan Setnov. Ia mengulur ulur waktu, ia juga tidak mengeluarkan banyak pernyataan atau pembelaan berlebihan di hadapan publik (beda dengan Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang gemar berkomentar tapi malah makin dibully publik), dan yang terpenting Setnov sudah merencanakan jalan keluar yang brilian. Ya, Setnov memilih mengundurkan diri jadi Ketua DPR, masyarakat merasa puas lalu melupakan dan kemudian Setnov memilih jalur menjadi Ketum Partai Golkar. Jabatan yang mungkin lebih “berpengaruh secara politik” dibanding menjadi Ketua DPR.
Tidak sampai disitu manuver Setnov. Ia kemudian memutar balik kemudi partainya yang semula sebagai oposan bagi Jokowi-JK, menjadi partai pendukung pemerintah. Singkat cerita hari ini Golkar kembali ke khitahnya sebagai partai pemerintah. Golkar (bersama dengan PAN) mendapat jatah 1 orang menteri yaitu Menteri Perindustrian yang diduduki oleh Airlangga Hartanto. Menariknya jatah yang diambil oleh Golkar dan PAN semula diisi oleh politisi Hanura. Luar biasa bukan Setnov?? Dari seorang yang dituduh melakukan permufakatan jahat, berhenti jadi Ketua DPR, berubah haluan menjadi Ketum partai, berkoalisi dengan pemerintah dan akhirnya ada “anak buahnya” mendapat jatah di kabinet. Istilahnya mungkin “FROM ZERO TO HERO”.
Bagaimana dengan SS?? Setelah duel sengitnya dengan Setnov (juga dengan Rizal Ramli), akhirnya SS harus rela tersingkir dari kabinet. Tentu banyak alasan kenapa SS bisa tersingkir, misalnya kegagalannya memberantas mafia migas, harga BBM yang tidak turun signifikan di tengah merosotnya harga minyak dunia dan juga keberisikan yang ditimbulkannya di dalam kabinet. Tapi tidak bisa disalahkan juga bila ada yang berspekulasi bahwa ia disingkirkan karena “mempermalukan” beberapa petinggi negeri. Kenapa sih harus ribut-ribut, kenapa sih mesti kepo dengan urusan orang lain, kenapa harus lapor sana sini. Kenapa tidak diam aja. Singkatnya perjalanan SS ini bisa digambarkan dari diangkat jadi menteri, membubarkan (yang katanya) mafia migas, bongkar kasus papa minta saham, obok obok Freeport, tampil heroik di sidang MKD tapi pada akhirnya harus tersingkir. Istilahnya mungkin “FROM HERO TO ZERO”.
Lalu bagaimana kelanjutan kasus papa minta saham yang dilabeli sebagai “permufakatan jahat”???
Senasibkah dengan Lapindo, BLBI, Century, Artalita Suryani, Gayus Tambunan, Pelanggaran HAM, dll yang masih menimbulkan ganjalan?? HTYT (Hanya Tuhanlah Yang tahu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H