Mohon tunggu...
Hendra Cahyadi
Hendra Cahyadi Mohon Tunggu... PNS -

Manusia yang ingin terus berkembang\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ramadan Sebagai Bulan Latihan, Sudahkah Kita Menjadi Pribadi yang Lebih Baik?

5 Juli 2015   12:33 Diperbarui: 5 Juli 2015   12:41 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ramadan bagi umat Islam merupakan bulan yang paling spesial, bulan yang penuh hikmah. Bulan yang penuh berkah. Bulan dimana diwajibkan bagi orang beriman untuk berpuasa. Bulan dimana pintu ampunan Allah SWT terbuka sangat lebar bagi umatnya yang mau bertobat. Bulan dimana tiap kebaikan mendapat ganjaran pahala yang berlipat ganda. Bulan dimana terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Makanya di Bulan Ramadan ini kita lihat umat Islam berlomba lomba memperbanyak ibadah seperti shalat sunat, membaca Al-Qur’an, bersedekah dan lain sebagainya. Ramadan bisa juga dibilang sebagai “bulan latihan” agar di 11 bulan lainnya kita menjadi manusia yang lebih baik setiap tahunnya.

Latihan bersabar

Ramadan bisa melatih kita untuk bersabar. Contoh kecil saja, bagaimana kita bisa bersabar untuk menunggu waktu berbuka. Walaupun makanan dan minuman sudah tersaji dihadapan kita, tapi kalau waktu berbuka belum tiba kita bisa bersabar untuk menunggu. Pada Ramadan kita juga mampu menahan diri dari berkata-kata buruk, mencaci maki, menggosip dan perbuatan sia sia lainnya. Nah, bisakah kemampuan kita bersabar selama Ramadan kita pertahankan ketika di luar Ramadan? Bisakah kita bersabar saat di jalan menunggu lampu merah berganti hijau? Bisakah kita bersabar untuk tidak sering-sering membunyikan klakson saat jalanan macet? Bisakah kita bersabar dalam menghadapi atasan, rekan kerja atau bawahan yang mungkin tidak seideal yang kita inginkan? Bisakah kita bersabar dalam mencari rezeki, sehingga kita tidak terpancing untuk ikut investasi bodong yang menjanjikan kekayaan instan? Dan banyak lainnya

 

Latihan jujur

Ramadan juga melatih kita untuk jujur. Selama Ramadan, tidak seorang pun yang tahu apakah kita berpuasa atau tidak. Jadi kalau siang hari kita makan atau minum dan kemudian ngaku puasa, tidak ada seorang pun yang tahu. Namun hal itu tidak kita lakukan. Jadi kita ada bakat untuk jujur kan? Selama Ramadan kita juga “takut” untuk berbohong dan cenderung berkata apa adanya. Nah itu juga salah satu bukti kita bisa jujur. Namun yang jadi pertanyaan jujur kita selama Ramadan apakah benar-benar jujur atau karena takut kehilangan pahala puasa? Jawabannya bisa terlihat pada saat di luar Ramadan. Bisakah kita jujur kepada atasan, rekan kerja atau bawahan kita? Bisakah kita jujur untuk tidak mengambil yang bukan hak kita? Bisakah kita jujur dalam membuat laporan? Bisakah kita jujur untuk tidak mengarang ngarang sesuatu, mengada adakan yang tidak ada dan meniadakan yang sebenarnya ada? Bisakah kita jujur, walau itu menyakitkan? Dan yang paling penting, bisakah kita jujur dalam mengevaluasi diri kita sendiri?

 

Latihan ikhlas

Puasa adalah ibadah yang unik dibanding ibadah yang lain. Puasa adalah satu-satunya ibadah dimana orang lain tidak tahu kalau kita melaksanakannya. Hanya kita dan Allah yang tahu. Orang bisa melihat kita shalat, membaca Al-Qur’an, naik haji dan lain sebagainya, namun tidak dengan puasa. Jadi potensi untuk pamer atau riya dalam melaksanakan puasa bisa dibilang tidak ada.  Dalam puasa kita dilatih untuk ikhlas dalam berbuat. Tidak ada yang bakal memuji puasa kita, tidak ada yang bisa mengatakan kita ahli puasa. Kita berpuasa tidak mengharapkan pujian manusia lain, kita hanya mengharapkan Ridho Allah SWT. Jadi kita berbakat untuk ikhlas kan? Jawabannya bisa dilihat setelah Ramadan. Bisakah kita ikhlas dalam bekerja tanpa mengharapkan pujian? Bisakah kita ikhlas dalam menolong orang lain yang kesulitan? Bisakah kita dalam berbuat baik tidak memikirkan balasan dari orang yang kita tolong? Bisakah kita dalam berbuat baik tidak terbetik pikiran bahwa kita berharap suatu saat ada yang menolong balik kita? Bisakah kita berbuat baik tanpa embel-embel apapun?. Kayaknya kita tidak perlu juga mengucapkan “jangan khawatir, saya ikhlas kok” karena sedikit terdengar nada keberatan. Lakukan saja kebaikan lalu lupakan.

 

Latihan berempati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun