Isu lingkungan merupakan isu yang universal. Terlihat begitu sepele, namun fatal, bahkan menjadi persoalan yang fundamental. Dewasa ini, isu lingkungan begitu banyak dibicarakan oleh khayalak ramai. Pencemaran yang terjadi di sungai merupakan salah satu permasalahan yang begitu akut. Jakarta sebagai ibukota Negara merasakan sekaligus merekam realita-realita tersebut.
Arus urbanisasi yang dialami Jakarta tentu tidak terbendung. Pemukiman padat penduduk menjadi pemandangan yang kontras sekaligus potret buram, menyemut dibanyak bantaran kali/sungai ibukota. Kondisi tersebut tentu bukan persoalan baru, melainkan persoalan yang tidak kunjung berakhir. Bagaimana tidak?, kondisi tadi bukan hanya persoalan hunian, melainkan persoalan pemenuhan kebutuhan dan bertahan hidup. Ibukota telah menjadi arena ataupun sandaran hidup demi pemenuhan kebutuhan hidup orang-orang yang banyak datang dari luar ibukota.
Ada yang mengatakan bahwa Jakarta merupakan miniatur Indonesia, dalam konteks keberagaman. Keanekaragaman tersebut terlihat dari pendatang dari berbagai daerah. Kondisi yang tercipta tersebut tentu bukan tanpa sebab. Urbanisasi seakan menyampaikan pesan tersirat dari ketidakberhasilan pemerintahan daerah dalam pembangunan.
Tentu hidup di Ibukota tidak mudah, keras, begitulah kalimat yang sering terdengar dari orang-orang yang telah menjalani kehidupan di Ibukota. Namun, itu bukan menjadi penghalang, entah itu harapan atau ambisi seakan pesan tersebut menjadi tantangan bagi banyak orang. Ibukota bagai harapan, jaminan dari keberlangsungan hidup. semakin banyak pendatang, tentu semakin banyak persoalan yang dihadapi oleh pemerintahan. Ada beberapa persoalan yang tidak kunjung selesai, salah satunya adalah soal banjir.
Persoalan Jakarta yang kian kompleks tentu menjadi persoalan rumit bagi pemerintah. Kita melihat dari Upaya maupun langkah-langkah yang dilakukan pemprov DKI saat ini. Revitalisasi kali/sungai merupakan salah satu langkah bijak, sekalipun dengan konsekuensi relokasi penduduk yang tinggal dibantaran kali/sungai menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang tidak mudah untuk dikerjakan. Normalisasi yang dilakukan pemerintah di kali cakung lama, koja terkendala terkait pembebasan lahan.
Sikap acuh tidak acuh terhadap lingkungan cenderung menjadi pola hidup masyarakat kita saat ini. Limbah rumah tangga banyak kita dapati dibanyak sungai di ibukota menjadi pemandangan tersendiri, bahkan terjadi penumpukan hingga menggunung. Dampak yang terjadi dari persoalan tersebut, misalnya ada waduk yang semula kedalamannya 10 meter karena pengendapan menjadi 2-3 meter, kali yang awalnya 15 meter karena terjadi okupasi warga, lebarnya menjadi 2 meter (KOMPAS, 01/10)
Pembuangan sampah ke sungai memang tidak membutuhkan waktu yang lama, namun kita melupakan konsekuensi ataupun dampak yang akan kita tuai kelak. Ketika terjadi banjir, kita mengeluh, dan seolah-olah itu merupakan kesalahan mutlak dari pemerintah. Seolah kita lupa untuk mengoreksi diri kita, sudah sejauh mana kita memberikan perhatian terhadap sungai yang senantiasa selalu kita jadikan tempat pembuangan sampah.
Memang tidak semua dari masyarakat bantaran kali yang acuh tak acuh terhadap soal tersebut. Tentu ada sebagian orang dari mereka yang peduli, dan sadar terkait kondisi tersebut.
Peranan pemerintah tentu sangat dibutuhkan. Namun, tentu harus dicatat bahwa yang memiliki tanggungjawab yang besar merupakan masyarakat itu sendiri. Peran antara pemerintah dan masyarakat tentu sangat menentukan. Dalam keduanya perlu ada komitmen dan sinergi terhadap upaya pemeliharaan lingkungan.
Saat ini, semua tergantung kita, tergantung kesadaran yang ingin kita bangun, tergantung sikap seperti apa yang ingin kita implementasikan. Mari Mulai dari Hal Kecil.
When We Heal the Earth, We Heal Ourselves. - David Orr
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H