Harapan, menurut teori Victor Vroom, merupakan suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena perilaku. Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berarti tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti. Harapan merupakan sebuah hasrat atau keinginan. Harapan tentu dimiliki setiap manusia yang memiliki hasrat terhadap kondisi yang diinginkannya. Bisa dibayangkan jika sekiranya manusia tidak memiliki harapan, bukankah itu sebuah keputusasaan?. Keputusasaan tentu terjadi akibat kehilangan asa itu sendiri, tercipta karena sebuah kondisi, namun bagaimanapun keputusasaan merupakan titik awal menciptakan sebuah harapan. Ketika ada sedikit jalan keluar, ia telah membangun sebuah harapan, begitu juga dengan bangsa kita.
Gelombang arus pasang surut telah mewarnai sejarah perjalanan bangsa kita. Sejak pra kemerdekaan hingga saat ini 16 tahun pasca reformasi. Telah banyak yang dialami bangsa ini, sebelum kemerdekaan Indonesia, berbagai upaya dilakukan para pemuda rakyat, melalui kesadaran persamaan nasib dalam sebuah bingkai harapan untuk sebuah kemerdekaan yang telah lama dinanti-nantikan. Pada 17 Agustus 1945, tibalah waktunya Indonesia menjadi sebuah Negara yang merdeka. Upaya yang dilakukan untuk menjadikan Indonesia Negara yang merdeka pun tidak mulus, pada 1948 Belanda melakukan serangannya melalui agresi militernya. Di Surabaya meletus peristiwa 10 November, tidak sedikit merenggut nyawa para pejuang.
Arus pasang surut senantiasa mewarnai perjalanan bangsa kita, berbagai sistem pemerintahan dibangun oleh orde lama, guna membawa Indonesia menjadi sebuah bangsa yang lebih baik dan sejahtera. Di rezim Orde Lama, terjadi tarik menarik kekuatan politik antara ABRI dan PKI. Pada 1965, terjadi gerakan yang kita kenal dengan “Gerakan 30 September”. Pada masa itu juga, muncul gerakan mahasiswa dengan melakukan aksi turun ke jalan dengan tuntutan yang kita kenal dengan “Tritura”. Gerakan mahasiswa/pemuda tersebut menjadi sebuah momentum, dan batu tapal dari gerakan mahasiswa di generasi berikutnya. Peristiwa tersebut berangsur-angsur menandai berakhirnya kekuasaan orde lama, sekaligus mengawali lahirnya orde baru. Di sekitaran 1965 – 1967 telah terjadi pembantaian massal yang mengatasnamakan Pancasila. Partai Komunis Indonesia dijadikan sebagai kambing hitam terkait peristiwa G 30 S. Hampir disetiap wilayah nusantara terjadi pembantaian terhadap mereka-mereka yang dituduh PKI, entah itu, kader, simpatisan, bahkan mereka-mereka yang awam sekalipun menjadi korban kekejian oleh mereka yang berambisi untuk berkuasa.
Banyak dari mereka yang ditahan tanpa proses pengadilan yang jelas. Meskipun, beberapa tokoh menjalani proses pengadilan mahmiliti namun tetap saja itu merupakan sebuah pengadilan yang dipenuhi dengan sandiwara, banyak dari mereka yang dihukum mati tanpa dasar hukum yang jelas. Tidak hanya itu, mereka-mereka yang tertuduh terlibat dengan PKI harus rela menjalani kenyataan pahit, serta perlakuan keji dari Rezim Soeharto. Seiring berjalannya waktu, Soeharto merangkak dan pada 1967 berhasil merebut kekuasaan dengan menjadikan dirinya Presiden Republik Indonesia.
Dibawah kekuasaan yang dipimpin oleh Soeharto, Indonesia menjadi sebuah Negara yang dictator. Perlahan-lahan kebebasan dipasung, mereka yang memberikan kritik dibungkam, media massa dikebiri. Pengkultusan terhadap dirinya semakin menjadi-jadi, pembeberan sejarah yang dipenuhi dengan kepalsuan menjadikan pembodohan bagi generasi. Tragedi pembantaian massal pasca G 30 S, seolah-olah tidak pernah ada. Ia merupakan luka sejarah yang begitu membekas dalam bangsa kita.
Sekalipun orde baru menjalankan kediktatorannya, harapan untuk menjadikan bangsa yang lebih baik masih tetap ada, ditandai dengan munculnya gerakan perlawanan pemuda mahasiswa terhadap rezim orde baru pada 1974 (peristiwa malari). Namun, kediktatoran orde baru mampu membungkam gerakan moral tersebut. Tidak hanya berhenti sampai disitu, pemuda mahasiswa tetap berupaya membangun gerakan-gerakan politik. Hingga puncaknya pada 1998, yang dikenal dengan era reformasi, yang harus dibayar dengan tumpah darah pemuda mahasiswa. Tentu ini menjadi lukisan sejarah yang berlumur darah dalam bangsa ini, mereka yang berjuang menjadi korban kebiadaban rezim orde baru. Tidak sedikit dari mereka yang harus menderita, kehilangan nyawa, bahkan banyak yang dinyatakan hilang.
Ironisnya hingga saat ini, 16 tahun pasca reformasi, Bangsa Indonesia yang telah berjalan dengan demokrasi, yang telah mengalami transisi pemerintahan, mulai dari Habibie hingga pemerintahan SBY, luka tersebut tidak mampu untuk dipulihkan. Slogan-slogan yang mewarnai bumi pertiwi yang diteriakkan oleh para penguasa yang seolah-olah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanyalah jargon belaka. Kita telah memasuki penantian yang begitu panjang. Penantian yang tak kunjung akhir.
Transisi kepemimpinan yang terjadi di tahun ini, kembali membawa kita pada sebuah harapan, harapan yang begitu besar. Harapan yang ditandai lahirnya seorang pemimpin dari rakyat. Harapan yang menciptakan sebuah people power, atmosfer tersebut begitu massif bagai putaran bola salju. Berbagai lapisan masyarakat yang selama ini muak, apatis berbondong-bondong merapatkan barisan dan bersatu melawan oligarki politik.
Perjuangan tersebut merupakan proyeksi dari sebuah harapan, sebuah kerinduan terhadap perbaikan nasib bangsa, sebuah kerinduan untuk melihat bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik. Antusiasme berbagai lapisan masyarakat telah menandai begitu besar harapan dengan penyambutan fenomenal terhadap pemimpin yang baru belakangan ini terjadi. Dan semoga itu menjadi tandan kepeduliaan kita saat ini, tanda kebangkitan bangsa kita saat ini. Tentu sebuah harapan lebih baik dari sebuah keputusasaan, Hope is Better Than Hopeless.
Selamat Memaknai Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H