Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Stress Mengurus Bayi? Ingat 3 Hal Ini

28 Februari 2014   00:15 Diperbarui: 4 April 2017   16:13 7086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13934992521490606009

Sebesar apapun rasa sayang orang tua pada bayinya pasti pernah mengalami stress baik karena tangisan bayi yang tidak berhenti, kecapekan, kurang tidur dan hilangnya waktu untuk diri sendiri. Suka tidak suka mengasuh bayi adalah pekerjaan 24 jam sehari. Mereka yang tidak mengalami stress biasa karena meng-outsource pengasuhan ke baby sitter atau dibantu keluarga besar.

Berhubung saya tinggal di Sydney, praktis kami tidak bisa mengandalkan baby sitter. Memang bisa dititipkan ke child care (jasa penitipan anak) tapi itu nanti bila bayi berumur minimum 1 tahun dan istri siap kembali bekerja. Ibu mertua hanya datang membantu selama 3 bulan, sehingga dalam jangka panjang kami tetap harus mengurus si kecil sendiri.

Tulisan ini hanya berbagi trik-trik psikologis sebagai pengingat pribadi setiap kali merasa stress mengurus bayi. Trik mengatur waktu dan energi  tetap penting tapi saya rasa sisi psikologisnya jauh lebih penting karena sikap mengasuh kita kurang lebih akan berdampak pada emosional si kecil.

Bayi Menangis Sebagai Bentuk Komunikasi

Dua orang dewasa yang dibesarkan di negara yang berbeda bahasa akan menggunakan bahasa medium yang dikuasai dua belah pihak ketika bercakap-cakap. Namun bayi diseluruh dunia terlepas apa latar belakangnya memiliki satu bahasa universal: M E N A N G I S.

Ketika kita stress mendengar raungan tangisan bayi, ingatlah bahwa tidak ada bayi yang berpikir: “aku menangis sekeras-kerasnya biar ayah dan ibu menderita”. Dalam kamus si kecil menangis berarti dari salah satu berikut ini:

-Aku lapar, susui aku

-Popokku basah tidak nyaman, tolong diganti

-Aku takut/kesepian, gendong aku

-Aku sakit, tolong bawa aku ke dokter

Tentu saja interpertasi tangisan harus diikuti dengan pengamatan bahasa tubuh. Tangisan yang diikuti dengan gerakan mulut ingin menghisap hampir pasti berarti dia lapar. Bila dia menangis sambil bergerak gelisah meskipun sudah cukup makan, tidak ada muntah dan suhu kamar pas, dari pengalaman kami biasa karena popoknya sudah penuh apalagi kalau sampai tercium bau tak sedap hehe.

Jadi alih-alih merasa sebal, ubah jadi rasa penasaran menerjemahkan bahasa si kecil.

Jadi Bayi Juga Stress

Ada yang bilang jadi bayi itu enak kerjanya cuma tidur, makan, main dan kebutuhannya dipenuhi orang tua. Sayangnya itu hanya setengah benar. Sesungguhnya dari lahir hingga beberapa bulan, bayi berjuang keras memahami dunia barunya yang asing. Penjelasan ini disampaikan oleh perawat yang menangani bayi prematur kami yang lahir pada minggu ke 35. Ketika bayi-bayi normal (lahir minggu ke 40) terlihat lebih mudah disusui, bayi kami kelihatan mudah lelah dan kurang  instingnya untuk menghisap dari puting susu sehingga harus minum lewat selang yang disambungkan ke hidungnya.

Dalam rahim bayi tidak perlu bersusah payah makan lewat mulut. Seluruh kebutuhan gizinya diantar langsung tali placenta. Buang air besar dan kecil juga langsung saja, tidak usah ganti popok. Di dalam rahim suhunya juga relatif stabil, tidak ada kepanasan atau kedinginan. Selain itu selalu ada suara familiar yang sama setiap hari: detak jantung ibu, darah mengalir dsb.

Ketika lahir, umumnya pengalaman ‘traumatis’ pertama bayi berupa cahaya lampu rumah sakit. Kelahiran juga  saat pertama kali dia dipaksa menggunakan paru-parunya. Tidak bisa lagi santai ‘bernapas’ lewat darah yang berisi oksigen (oxygenated blood) seperti dalam kandungan. Ditambah lagi suara bising dokter, suster, keluarga setempat yang terdengar asing di telinganya.

Dari kaca mata bayi, lahir ke dunia merupakan sebuah transisi besar. Jadi sudah layak dan sepantasnya kita sebagai orang tua berusaha semaksimum mungkin membuat masa transisi senyaman mungkin untuk si kecil karena kitalah yang mengundang si kecil ke dunia. Ibaratnya sudah bagus tamunya bersedia datang jauh-jauh, masa tidak dilayani hehe.

Bayi Mengajarkan Kita Ketrampilan Hidup

Setiap kali mengalami baby blue, saya selalu mengingatkan diri: kalau kami sanggup melewati masa-masa bangun setiap 2-3 jam, tetap bisa menyempatkan diri menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, performa kerja tetap terjaga, hubungan dengan istri tetap hangat (kurang tidur bikin gampang marah) dan tetap sanggup mengejar impian pribadi, bukankah itu semua juga ketrampilan hidup dan merupakan prestasi tersendiri?

Boss yang menyebalkan menjadi tidak ada apa-apanya dibanding bayi yang rewel. Kerja lembur juga jadi tidak ada apa-apanya setelah bergadang selama 2-3 bulan. Singkatnya, mengurus bayi mendorong batasan-batasan kemampuan diri orang tua. Kita dipaksa menjadi ahli dalam mengatur waktu, energi bahkan keuangan.

Saya pribadi baru sadar kalau kesabaran bisa dilatih. Kalau dulu saya orangnya tidak sabaran langsung labrak, dengan si kecil saya mau tidak mau jadi harus belajar sabar dan terbukti sampai sekarang belum pernah ngumpat ke bayi haha.

Menatap si kecil juga mengingatkan saya bahwa kita semua mantan bayi dan bayi terlihat imut-imut menggemaskan. Jadi setiap kali bertemu dengan boss, rekan kerja atau teman yang menyebalkan, saya jadi membayangkan kalau dia dulu juga bayi :).

Hendra Makgawinata

Sydney, 27/02/2014

Baca Juga:

Pelajaran Mengasuh Bayi Dari Australia


Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun