Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sosialisi Empar Pilar MPR RI Tidak Akan Menyelesaikan Krisis Nasionalisme

4 Desember 2015   09:32 Diperbarui: 4 Desember 2015   09:32 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Geli rasanya membaca artikel “Mengobati Krisis Nasionalisme” (kompas.com). Wakil ketua MPR RI Oesman Sa   pta mengemukan perlunya mensosialisasi empat pilar MPR RI (Pancasila, UUD45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) sebagai solusi krisis nasionalisme khususnya bagi generasi muda. Krisis nasionalisme diduga memiliki andil dalam konflik-konflik di tanah air dewasa ini.

"Dulu Empat Pilar MPR RI banyak yang komplain. Kalau sekarang malah banyak yang ingat, minta kapan Empat Pilar disosialisasikan di sekolah, universitas, atau pesantren. Ini menandakan kepedulian dan tidak bisa di-stop," tutur Oesman.

Saya bingung apa hubungannya ingat empat pilar dengan nasionalisme. Kita semua dari SD hafal isi Pancasila. Waktu sekolah kita juga belajar PMP, PPKN, PSPB hingga SMA tamat. Saya senang sama pelajaran gituan karena gampang hafalan semua, lumayan buat dongkrak nilai rata-rata raport. Kalau ujiannya pilihan ganda tinggal pilih jawaban yang kelihatan ‘paling baik’. Cuma satu hal yang bikin frustasi: guru kasih nilai lebih tinggi buat murid yang nulis jawaban sama persis dengan buku cetak dari kata per kata dibanding mereka yang menulis dengan kata sendiri meskipun substansinya sama.

 

Beranjak dewasa, hampir semua angkatan saya (generasi Y - kelahiran awal tahun1980 hingga akhir 2000) dengar kata politik saja sudah muak. Ngakunya negara berketuhanan, tapi aparat negara terkesan membiarkan segelintir ormas berkedok agama meneror sesama warga negara yang berbeda keyakinan. Sebagai negara yang mengaku “berbeda-beda tapi satu”, sebagian masyarakat  justru melihat perbedaan SARA sebagai bahan provokasi siap saji demi nafsu pribadi dan golongan. Para politikus yang diambil sumpah jabatan diatas kitab suci tanpa malu berjemaah ramai-ramai merampok rakyat.

Negeri kita tidak kekurangan undang-undang indah buat materi hafalan sekolah atau retorika berbau nasionalisme. Kita butuh teladan yang WALK THE TALK. Tinta diatas kertas tidak akan menangkap koruptor najis jijik bin busuk. Pidato berselip kata-kata “cinta tanah air”, “NKRI harga mati”,”rakyat”, “demi Tuhan” tidak lebih merdu dari kentut kalau keluar dari seorang munafik. 

Bibit unggul tidak akan tumbuh diatas tanah busuk; program bernilai milyaran rupiah sekalipun tidak akan bisa menumbuhkan rasa nasionalisme kalau budaya  kerja de facto penjabat masih KKN. Ujung-ujung hanya mengundang rasa sinis “wah lagi cari lahan mark up baru nih”. Atau yang lebih parah: memplesetkan dengung nasionalisme untuk kepentingan rezim penguasa dengan membantai sesama anak bangsa.

Sudahilah program basa-basi. Perkuat KPK, tetapkan hukuman mati untuk koruptor, terapkan zero tolerance untuk tindakan, tulisan, situs, perkataan berbau SARA dan kerja kerja kerja. Niscaya bibit nasionalisme tumbuh diatas bumi Indonesia.

 

“Nasionalis yang sedjati, jang nasionalismenya itu bukan timbul semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme barat akan tetapi timbul dari rasa tjinta akan manusia dan kemanusiaan”  - Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi: Jilid 1)

 

Hendra Makgawinata

Sydney, 04/12/15

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun