Tidak bisa dipungkiri bahwa sosial media (sosmed) seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, Path, Instagram sudah mendarah daging dalam abad teknologi informasi sekarang ini. Kalau mau jujur kebanyakan menggunakan Sosmed karena trend, tidak mau merasa ketinggalan jaman karena orang lain juga pakai. Sementara penyedia Sosmed mengklaim bahwa berkat jasa mereka, masyarakat lebih mudah berkomuniksi, sharing, bahkan meningkatkan penjualan.
Sosmed sendiri pada dasarnya hanya alat dan saya tidak akan mendebat bahwa sosmed juga memberi manfaat positif. Pertanyaannya, berapa ongkos yang harus dibayar dengan penggunaan Sosmed? Apakah dampak positifnya sebanding dengan ongkos yang harus dibayar?
Ongkos disini tidak berupa uang (setahu saya hampir semua aplikasi sosmed gratis). Harga minimum yang harus dibayar berupa waktu dan perhatian. Belum lagi resiko data pribadi kita disalah gunakan. Konsultan marketing Jay Baer pernah berkata “the goal of social media is to turn customers into a volunteer marketing army” (tujuan dari sosial media adalah mengubah pelanggan menjadi pasukan sukarela pemasaran). Jadi kalau sebuah layanan sifatnya gratis, maka kitalah produknya.
Berikut empat alasan besar mengapa sebaiknya kita lebih selektif menggunakan sosial media.
Merusak Konsentrasi
Interaksi dalam sosmed dirancang untuk terjadi secara cepat, singkat, stimulan. Sebagian mungkin merasa lumrah membaca berita, membalas chat/email, mendengar musik dan mengganggap multitasking merupakan ‘kemampuan’ premium dijaman serba cepat. Apa yang selama ini dianggap multitasking (melakukan beberapa tugas sekaligus), sebenarnya merupakan ‘task-switching’ (mengalihkan perhatian dari satu tugas ke tugas lainnya secara bergilir).
Mutlitasking hanyalah mitos. Otak kita tidak dirancang dapat melakukan beberapa tugas sekaligus (sumber: psychologytoday). Mereka yang ‘task-switching’ cenderung lebih sering melakukan kesalahan, sulit berkonsentrasi dan kesulitan memproses informasi secara mendalam (sumber: Steinhardt.nyu.edu).
Terobosan mutakhir, buah pikiran dan maha karya kebanyakan membutuhkan fokus penuh dan mendalam dalam pengerjaannya. Sementara aktifitas sosmed memberi instant reward lewat jumlah Like dan komentar.
George Packer, penulis tersohor The New Yorker dan pemenang penghargaan buku non-fiksi, bahkan merasa kalau dia sampai dipaksa aktif sosmed, mungkin dia akan kesulitan menafkahi anaknya (sumber: newyorker). Melahirkan tulisan berkualitas hebat memerlukan rentang konsentrasi panjang. Hasil karya luar biasa hampir pasti akan dilirik media besar yang pada ujungnya akan meningkatkan jumlah pembaca. Sedangkan rajin berinteraksi dengan ribuan followers tidak akan bisa menkompensasi kualitas tulisan rendah akibat pecahnya fokus menulis.
Perenggang Persahabatan dan Keluarga
Tahun lalu mama saya datang ke Sydney menjenguk cucu. Bukannya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya main bersama berhubung jarang ketemu, mama malah asyik main iPad sendiri. Fenomena seperti ini juga lumrah saya jumpai di Jakarta. Satu keluarga duduk makan semeja, semua asyik dengan HP masing-masing. Sebagian orang tua yang punya anak kecil lebih suka mendiamkan anak dengan iPad ketimbang mengajak komunikasi.