Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Tiga Pelajaran Hidup dari Olahraga Angkat Beban

21 Maret 2016   08:00 Diperbarui: 21 Maret 2016   12:02 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Angkat beban juga punya makna. Sumber: vincentiusmen.com"][/caption]Satu bulan belakangan ini saya kembali mengangkat beban. Sebenarnya dari SMA saya kenal olah raga ini. Karena perubahan prioritas hidup sejak punya momongan, saya memilih melepas Taekwondo dan balik ke angkat beban. Selain waktunya lebih flexible, bisa dilakukan di rumah. Modalnya juga cukup murah, cukup dua barbell saja.

Saya tidak akan membahas manfaat angkat beban, juga tidak akan membahas variasi angkat beban biar kekar seperti Arnold Schwarzenegger. Majalah dan artikel kesehatan sudah banyak yang membahas itu. Saya angkat beban biar badan tetap terasa enteng di usia yang sudah menanjak kepala tiga.

Inspirasi tulisan ini datang di tengah sesi angkat beban sekitar jam sepuluh malam. Tubuh manusia adalah miniatur alam semesta. Respon tubuh terhadap “stressor” memendam pelajaran hidup bagi mereka yang bersedia merefleksi. Berikut tiga hasil renungan pribadi dari pompa otot:

Mesin Rusak, Manusia Adaptasi

Taruh beban di atas meja dan tambah terus beratnya, maka lambat laut meja akan ambruk. Sama halnya dengan mesin. Bajaj tidak akan bisa berlari 150 Km/jam biarpun “dilatih” secara bertahap. Katakanlah minggu pertama 50 Km/jam, minggu kedua 60Km/jam dan seterusnya.

Sedangkan otot manusia akan terus beradaptasi mengantisipasi beban berikutnya. Pertama kali mengangkat beban di atas kemampuan, otot terasa pegal, serabut halus otot robek (micro-tears) dan dari sana tumbuh serabut otot baru yang lebih kuat setelah masa pemulihan. Begitu seterusnya dari yang awalnya berat menjadi biasa berkat adaptasi hingga kita mengalami “Fitness Plateau” di mana tubuh sudah berdaptasi penuh dengan berat beban.

Sama halnya dengan hidup, kita merasa bosan ketika tidak mendapat stimulus yang membangun. Celakanya kita salah mengartikan kebosanan sebagai kurang hiburan. Akhirnya kita mencari hiburan semu dari shopping, main game, nonton TV, hingga yang merusak: gonta ganti pasangan, cari istri muda dan narkoba. Seandainya kita bisa memanfaatkan kebosanan dalam hidup sebagai kurangnya kemajuan dan tantangan, kita akan lebih termotivasi menguasai materi baru, mencoba metode baru, meminta tanggung jawab lebih yang memungkinkan kita terus belajar seumur hidup dan tumbuh.

No Fail No Gain

“I don’t count my sit-ups. I only start counting when it starts hurting. That is when I start counting, because then it really counts. That’s what makes you a champion,” jawab petinju legendaris Muhammad Ali ketika ditanya berapa banyak sit-ups yang dia lakukan.

Dalam angkat besi kita mengenal istilah momentary muscular failure (MMF), titik maksimum di mana otot sudah tidak mampu lagi mengangkat beban karena kelelahan dari repetisi tinggi atau beban yang diangkat melampaui kekuatan otot. Tujuan berlatih hingga titik MMF adalah memaksa otot keluar dari zona kenyamanan batas kemampuan dan segera beradaptasi yang pada akhirnya memperbesar otot.

Ada dua pilihan ketika seseorang mencapai failure point

  1. Segera berhenti dan mengganti beban yang lebih ringan,
  2. Meminta bantuan partner latihan atau spotter dan menghabiskan sisa set.

Titik training failure setiap orang tentu berbeda, risiko cedera dan overtraining juga harus diperhatikan. Meningkatkan kekuatan otot sama beratnya dengan meningkatkan taraf hidup. Kadang kita hanya memberi 90% dari kapasitas maksimum karena takut gagal, capek, stres dan susah. Padahal orang berhasil berkat kerja keras memberi 110% dari usaha mereka, gagal, bangkit lagi, mengorbankan waktu bersenang-senang dan kurang tidur.

The Weight is The Way

Beberapa tahun lalu seorang teman ingin punya badan gagah lengkap dengan perut six-pack biar waktu pre-wedding bisa foto dengan dada terbuka menggendong calon mempelai wanita. Dia rela merogoh kocek beberapa juta membeli pil pembakar lemak (biar ototnya kelihatannya “kering”), bubuk protein, menyewa personal trainer dan rutin pergi ke gym. Tubuh indah akhirnya memang dia raih dalam beberapa bulan dan juga hilang dalam hitungan bulan

Saya rasa kita juga pernah mendengar kisah serupa, di mana berat badan orang seperti yo-yo. Waktu badan sudah gemuk, semangat berolah raga dan menjaga diet menggebu-gebu. Begitu target berat badan kembali ideal, semangat mengendur. Ketika berat badan mulai naik lagi, balik semangat olah raga dan begitu terus seterusnya naik turun seperti yo-yo.

Dulu saya melihat orang yang menjadikan olah raga sebagai bagian dari gaya hidup itu luar biasa tekadnya. Pasti butuh usaha keras melawan kemalasan dan rasa pegal, pikir saya. Kebetulan saya kenal dengan satu orang gym junkie. Ternyata buat dia, hidup aktif itu sudah menjadi kebiasaan. Awalnya ya, dia mengaku harus memaksa diri pergi ke gym angkat besi. Lama-lama angkat besi menjadi otomatis kegiatan harian sebelum makan siang seperti sikat gigi (tempat kerja dia ada gym).

Buat dia kesehatan itu prioritas. Bentuk tubuh ideal hanya hasil sampingan. Ibaratnya kita sikat gigi biar gigi bersih dan sehat, bukan supaya bisa merasakan sejuknya rasa mint dari pasta gigi.

Tanpa kesadaran diri akan pentingnya kesehatan dan konsistensi yang lahir dari kebiasaan, berolah raga terasa seperti pekerjaan rumah tangga yang tidak ada habis-habisnya – harus dilakukan tapi tidak menyenangkan. Mindset ini alasan terbesar orang cari jalan singkat lewat sedot lemak, bedah kosmetik, makan pil ini itu. Ini juga alasan masih banyak orang berharap bisa hidup enak lewat menang lotere, kawin sama orang kaya, korupsi, naik jabatan dengan menjilat atasan.

Kaisar Roma, Marcus Aurelius, dalam bukunya Meditations menulis “The impediment to action advances action. What stands in the way becomes the way.” Halangan untuk bertindak mendorong tindakan. Penghalang jalan menjadi jalan itu sendiri.

Dulu rasa pegal dari angkat beban dan alasan tidak ada waktu menjadi ‘penghalang’ untuk mendorong diri keluar dari batas kenyamanan. Sekarang rasa penasaran atas batas kemampuan otot mengganti rasa takut pegal, alasan tidak ada waktu menjadi kesempatan menjadikan diri lebih efektif mengatur waktu. Bahkan sekarang  sebelum memulai saya sudah bisa membayangkan betapa segarnya tubuh setelah selesai latihan.

Take care and keep pumping my friends!

Hendra Makgawinata

Sydney, 21/03/16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun