Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Ibu Rumah Tangga atau Kembali Bekerja?

6 April 2014   17:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebenarnya istri saya yang lebih cocok menulis topik ini tapi sayang dia tidak ngeblog. Wanita karir setelah melahirkan anak dihadapi dua pilihan: menjadi ibu rumah tangga atau kembali bekerja dengan mengalihkan pengasuhan anak kepada baby sitter, child care, kakek, nenek atau mertua.

Awalnya saya pikir mudah saja seorang ibu untuk menentukan pilihan. Bila penghasilan suami cukup untuk menghidupi keluarga, mendedikasikan diri untuk keluarga sebagai ibu rumah tangga menjadi pilihan alami.  Sebaliknya, mereka yang keadaan keuangan keluarganya pas-pasan tentu ingin sesegera mungkin kembali bekerja. Tapi dari obrolan dengan teman-teman wanita, keuangan ternyata bukan satu-satunya faktor yang menentukan apakah mereka akan menjadi ibu rumah tangga atau kembali bekerja.

Kubu Ibu Rumah Tangga

Teman saya sebut saja Rita berpendapat bahwa seorang ibu memiliki kewajiban moral untuk membesarkan sendiri anaknya dalam 5 tahun pertama. Pada masa itu perkembangan otak anak sedang berkembang dengan pesatnya dan dia ingin tetap dekat memonitor perkembangan fisik dan psikis anaknya. Anak tidak selamanya kecil, dia tidak ingin melewatkan kesempatan melihat anaknya merangkak, berjalan hingga mengucapkan kata pertama.

Jabatan terakhir Rita sebagai departemen manajer sebelum berhenti bekerja. Sejauh pengamatan, dia sama sekali tidak terlihat sayang meninggalkan karirnya . Selain itu suaminya berpenghasilan cukup mapan.

Bagi yang berlatar belakang konservatif, ada yang berpendapat bahwa menjadi ibu rumah tangga hukumnya wajib karena itulah kodrat wanita. Silahkan mengejar karir kalau belum punya anak, namun begitu anak lahir prioritas utama wanita adalah keluarga. Sudah susah payah melahirkan bukannya memaksimalkan waktu bersama ketika anak masih lucu-lucunya mengapa pengasuhan malah di-outsource? Buat apa punya anak kalau begitu? Masa mau anak tapi tidak mau capeknya? Bila keuangan cukup tapi ibu tetap kembali bekerja, bisa jadi dia sebenarnya belum matang mentalnya untuk menjadi seorang ibu.

Kubu Wanita Bekerja

Salah seorang teman saya langsung kembali bekerja 1 bulan setelah melahirkan karena alasan keuangan. Penghasilan bisnis online suaminya tidak menentu sehingga mau tidak mau dia harus kembali bekerja sementara suaminya mengasuh anak dirumah. Alasan ini biasa lebih bisa kita terima. Namun bagaimana dengan mereka yang cukup secara ekonomi namun tetap memilih kembali bekerja?

Seorang kenalan saya, sebut saja Yossy, menjabat sebagai supervisor. Dia kembali bekerja bukan karena alasan ekonomi, bukan juga karena ada ambisi karir (dia puas dengan posisinya yang sekarang) tapi karena merasa bosan dirumah cuma jaga anak. Anaknya dititipkan ke ibu mertua ketika dia berangkat kerja. Menurutnya ini jauh lebih baik daripada memaksakan diri jadi ibu rumah tangga bosan dirumah dan akhirnya stress sendiri. Dia mengaku dengan bekerja hidupnya terasa lebih seimbang. Bermain bersama anaknya setelah pulang kerja membuatnya terasa segar kembali dan hubungan terasa lebih erat karena ada perasaan rindu.

Kasus Yossy tidak unik. Teman kerja saya juga merasakan hal yang sama: “Bukannya gue gak sayang anak, tapi terus terang bosen banget kalau cuma dirumah ngurus anak”. Dia menitipkan anaknya di  child care sejak usia 6 bulan.

**

Apakah tingkat pendidikan ibu mempengaruhi pilihan? Saya tidak tahu pasti. Dari pengamatan pribadi yang terbatas, mereka yang memilih kembali bekerja setidaknya mengeyam pendidikan S1. Buat orang yang sudah terbiasa sibuk menghadapi kompleksitas di tempat kerja, mengurus bayi dirumah terasa sangat monoton. Bagi mereka lebih baik stress sibuk bekerja daripada stress bosan mengurus bayi.

Rita, ibu rumah tangga, yang saya sebut di awal tulisan juga tipe orang yang tidak bisa diam dan cepat bosan. Latar belakang pendidikannya graphic design, sembari mengurus bayi dirumah dia iseng-iseng menjalankan bisnis Wall Art Printing, Business Logo, Custom Design Birthday Invitation lewat Facebook page. Bisnisnya berjalan baik meskipun penghasilannya tidak bisa dibandingkan ketika masih bekerja. Tapi uang bukan tujuan utamanya. Dia senang menemukan outlet pelepas kebosanan tanpa harus menitipkan anaknya ke orang lain.

Pilihan menjadi ibu rumah tangga atau kembali bekerja tergantung pada temperamen dan prioritas masing-masing. Menjadi 100% ibu rumah tangga bukan berarti kedudukannya lebih rendah dibanding mereka yang bekerja menghasilkan uang. Kembali bekerja juga bukan serta merta berarti egois, tidak sayang anak, tidak ada dedikasi pada keluarga dll. Bila ibu merasa tertekan, bosan dan stress, anak juga yang akan terkena imbasnya. Ujung-ujungnya kehidupan rumah tangga secara keseluruhan juga jadi terganggu.

Bila memungkinkan, solusi jalan tengah seperti Rita pantas ditiru. Kalau anda jago bahasa Inggris, coba buka bimbingan belajar dengan murid datang ke rumah dengan menargetkan anak-anak tetangga usia sekolah.

Hendra Makgawinata

Sydney, 6/04/2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun