Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Sukarela Hidup Sederhana? (FAQ)

14 Agustus 2014   03:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:36 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sering mendengar anjuran untuk hidup sederhana namun berapa banyak dari kita yang benar-benar mengerti apa makna hidup sederhana sesungguhnya? Kata mutiara ‘hidup sederhana itu indah’ menjadi klise tanpa makna. Kata-kata ‘kami dulu hidup sangat sederhana’ menjadi ungkapan halus bagi mereka yang baru bangkit dari kemiskinan  seolah-olah menjalani hidup sederhana adalah sesuatu yang mengekang, menyiksa dan sebisa mungkin dihindari kecuali dalam keadaan terpaksa.

Namun dilain pihak kita juga menjumpai milyader yang memilih bergaya hidup sederhana. Contoh, milyader Warren Buffet yang mengemudikan mobil sendiri, hidup dirumah yang sama selama bertahun-tahun namun memiliki jet pribadi untuk keperluan bisnis.

Seperti Buffet, milyader asal Swedia  Ingvar Kampard (pendiri toko furniture IKEA) juga dikenal sebagai ‘frugal billionaire’. Kampard selalu terbang dengan kelas ekonomi, tinggal di rumah sederhana bahkan berbelanja di toko lokal menjelang tutup demi mengejar diskon (sumber: Dailymail). Masih banyak lagi tokoh ‘frugal billionaire’ seperti David Cheriton, Karl Albrecht, Christy Walton, Amancio Ortega dan lain-lain.

Tidak ada yang melarang mereka untuk meng-‘upgrade’ gaya hidup mereka sesuai dengan tipikal lingkungan kelas ekonomi sosial para milyader yang serba glamour. Jadi apa yang menghentikan mereka? Mengapa mereka sukarela memilih gaya hidup jauh lebih sederhana dibanding milyader lainnya seperti Bill Gates atau Donald Trump?

Hidup sederhana di jaman sekarang harus kita akui sangat tidak mainstream. Saking tidak mainstreamnya, salah seorang calon presiden RI 2014 dituduh melakukan pencitraan karena memilih menjalani hidup sederhana apa adanya meskipun memiliki kekayaan mendekati Rp30 milyar. Seolah-olah orang berduit dilarang hidup sederhana dan tingkat konsumtif seseorang harus berbanding lurus dengan kekayaannya.

Lihat sekeliling kita. Sinetron, iklan, selebritis, motivator, pejabat, hingga media sosial menampilkan gaya hidup konsumptif sebagai gaya hidup ideal untuk dikejar.  Kegiatan konsumsi itu sendiri sifatnya netral yang pada hakikatnya adalah demi kelangsungan hidup. Namun seiring dengan perkembangan jaman, orientasi kegiatan konsumsi sedikit demi sedikit mulai bergeser menjadi penunjuk status:

Apa dan berapa banyak yang Anda konsumsi menunjukkan siapa Anda.

Semakin banyak yang Anda konsumsi dan semakin bermerek barang yang Anda kenakan pasti semakin tinggi kualitas hidup Anda.

Bila mindset konsumsi diatas benar maka Buffet dan Kampard pastilah seorang milyader yang bodoh. Mereka hanya tahu cara menciptakan kekayaan tapi tidak tahu cara menggunakan kekayaan yang sudah dikumpulkan susah payah untuk meningkatkan kualitas hidup dan bersenang-senang. Atau, bisa jadi mereka memiliki mindset yang sama sekali berbeda dengan orang kebanyakan? Barangkali mereka memiliki konsep sendiri mengenai apa itu hidup yang berkualitas, apa tujuan hidup, untuk apa kekayaan sebanyak itu dan bagaimana bersenang-senang seperti yang terefleski dalam pilihan gaya hidup mereka.

Tulisan ini sengaja ditulis dengan format FAQ karena teman-teman dan kerabat keluarga sering berkomentar, bertanya mengapa merek baju, tas, tempat gunting rambut, belanja, hobi, jajanan dan gaya hidup tidak upgrade dari masa kuliah (bedanya  sekarang punya satu unit properti, mobil secondhand Honda produksi tahun 2000 dan makan lebih enak berkat masakan istri).

Tulisan ini merupakan interpertasi pribadi dalam memaknai hidup sederhana secara sukarela dan tidak ada maksud menghakimi. Gaya hidup adalah pilihan individu masing-masing. Bila seseorang memperoleh kekayaan dengan cara halal dan memilih bergaya hidup mewah, apa hak kita untuk ikut campur?

Menjalani hidup sederhana tidak hanya nikmat bagi yang menjalani tapi juga bermanfaat bagi orang sekitar dan lingkungan hidup. Saya harap tulisan ini dapat meluruskan persepsi miring/negatif seputar hidup sederhana.

Apa dan mengapa hidup sederhana secara sukarela?

Investopedia mendefinisikan hidup sederhana secara sukarela (voluntary simplicity) sebagai berikut:

A lifestyle that minimizes consumption and the pursuit of wealth and material goods. Individuals choose voluntary simplicity in order to attain a simpler but more meaningful life. Voluntary simplicity is quite different from those who are forced to spend less and live a more simple life involuntarily, such as those who lose their job and cannot find work.” (sumber: Investopedia)

Terjemahan bebasnya kira-kira seperti berikut:

“Gaya hidup yang meminimalkan konsumpsi dan pengejaran kekayaan dan materi. Individu memilih gaya hidup tersebut demi memperoleh kehidupan yang lebih simpel namun jauh lebih bermakna. Bergaya hidup sederhana secara suka rela berbeda dengan hidup sederhana karena terpaksa, misalnya mereka yang mengurangi pengeluaran dan hidup sederhana karena kehilangan pekerjaan dan tidak dapat mendapakan kerja.”

Dengan kata lain mereka yang sukarela menjalani hidup sederhana melihat bahwa kekayaan dan materi semata-mata sebagai sarana untuk hidup bukan tujuan pencapaian dalam hidup. Hal ini bertolak belakang dengan persepsi masyarakat umum yang menilai gaya hidup sebagai tolak ukur kesuksesan dan prestasi.

Hidup sederhana mengenal kapan enough is enough sementara hidup konsumptif menilai more is always better. Hidup sederhana menilai tinggi rendahnya kualitas hidup dari hal-hal yang tidak kasat mata seperti memiliki banyak waktu untuk keluarga, proyek pribadi, hobi, rasa damai, tidak pusing dengan pemeliharaan gaya hidup yang tinggi dan ukuran sukses sifatnya sangat personal. Sedangkan hidup konsumtif menilai kualitas hidup dari label harga barang, besarnya rumah, jumlah pembantu rumah tangga, merek mobil, jumlah uang di tabungan, kemampuan meng-update HP terbaru dan mengukur kesuksesan lewat angka.

Apa enaknya hidup kalau tidak menikmati hasil kerja keras?

Sebagian teman wanita saya pergi shopping setiap akhir pekan sebagai ajang memanjakan diri setelah bekerja keras seminggu penuh. Buat mereka keluyuran ke Mall mencari sepatu dan baju yang pas di hati ibarat pergi berburu harta karun dan mereka menikmatinya. Sementara saya lebih suka menghabiskan waktu baca buku ditemani secangkir kopi atau pergi makan keluar bersama istri dan anak.

Karena saya tidak percaya kita bisa ‘shop our way to happiness’. Saya menikmati uang hasil kerja keras dengan menggunakannya untuk hal-hal yang dapat membawa kebahagiaan jangka panjang seperti melunasi KPR secepat mungkin, sepatu nyaman yang tahan air (saya banyak jalan), ranjang yang enak  untuk punggung (karena 1/4 hidup kita di ranjang), memasukkan anak ke sekolah yang berkualitas dan 1-2 tahun sekali pulang ke tanah air bertemu keluarga.

Salah satu kunci kebahagiaan jangka panjang adalah tahu perbedaan antara nilai dan harga barang. Tidak ada salahnya membeli barang bermerek karena beberapa jenis barang seperti elektronik, harus diakui merek sangat berpengaruh. Namun kalau hanya untuk tas kerja? Rp50,000 di kaki lima sama saja fungsinya dengan tas Rp5,000,000 merek Louis Vutton: untuk menampung dokumen.

Barang mewah memang keinginan bukan kebutuhan tapi tidak usah munafiklah, ngaku saja kalau Anda juga mau kan?

Analoginya seperti ini. Seorang remaja biasanya terjerumus dalam kebiasaan merokok karena pengaruh lingkungan pergaulan. Namun mereka yang paham betul efek negatif merokok baik dari segi kesehatan jasmani dan dompet, tidak akan pernah tergoda mencoba meskipun dikasih gratis dan diolok-olok tidak jantan (sudah tahu racun kok dihisap!).

Mirip dengan persepsi jantan dan gaul pada rokok, mewah tidaknya suatu barang hanyalah persepsi yang dibangun oleh industri periklanan dengan memainkan harga, pencitraan, membatasi supply (limited edition, eklusif untuk members) dan tentu saja menyewa selebritis sebagai bintang iklan.

Hidup terlalu singkat untuk gengsi-gengisan, ukur status orang dari merek yang dipakai, update iPhone 6, 7, 8a dsb.

Dua tahun lalu di kantor saya ada acara kris kringles (tukar-tukaran kado dengan kolega secara anonim) dalam menyambut natal. Saya dapat satu paket berisi dompet dan tali pinggang merek Ben Sherman. Teman-teman memberi ucapan selamat karena katanya itu merek lumayan mahal. Saya sebelumnya tidak pernah dengar merek itu pura-pura kaget senang luar biasa (takut dikira kampungan gak tahu merek) dan berencana menyumbang hadiah tersebut ke panti amal seperti kado kris kringles pada tahun-tahun sebelumnya. Akhirnya hanya dompet yang disumbang dan tali pinggang saya pakai setelah diomelin istri karena menurut dia tali pinggang saya memang sudah pantas diganti (definisi layak kita memang beda).

Saya menuturkan cerita diatas bukan untuk sok pamer kesederhanaan atau sok suci. Saya bersyukur barang apa yang saya butuhkan selama ini bisa saya beli pakai kocek sendiri. Mau nolak hadiah tidak enak, bilang tidak usah suka dikira basa basi malu-malu mau. Jadi biasa hadiah saya terima saja baru diam-diam disumbang daripada cuma ngumpulin debu (mudah-mudahan teman saya gak ada yang baca tulisan ini).

Menurut saya kemewahan sesungguhnya adalah kebebasan dimana kita bisa bekerja sesuai panggilan hidup dan berkesempatan memberi kontribusi pada dunia dengan cara kita sendiri (self-actualization) bukan bekerja sekedar agar dapur tetap mengepul atau (terpaksa) menurut agenda pihak yang membayar kita.

Kasihan sekali istri dan anak Anda jadi terseret, belum tentu mereka suka menjalani gaya hidup sederhana

Bila kita menemukan hal yang membawa perubahan positif dalam hidup tentu bawaannya mau di share dengan orang-orang tercinta. Manfaat positif hidup sederhana pertama kali saya petik dari keluarga sendiri. Bapak saya seorang manajer di perusahaan swasta namun sanggup mengirim 2 anaknya ke Sydney untuk kuliah salah satunya berkat menjalani gaya hidup sederhana.

Mungkin ada diantara pembaca berpikir wah pasti karena gajinya besar makanya mampu. Gaji level manajer tentu membantu tapi percuma saja kalau bocor untuk gaya hidup konsumtif. Bapak membayar kuliah saya dari hasil tabungan bertahun-tahun bukan gaji bulanan. Waktu kuliah Hampir semua teman asal Indonesia kalau tidak dari keluarga pengusaha berduit ya dari bea siswa atau sponsor perusahaan.

Berhubung keluarga istri berasal dari latar belakang pengusaha (punya toko) dan pola pengasuhannya beda, saya tidak pernah memaksa bahwa gaya hidup keluarga harus sama persis dengan visi saya dan begitu juga sebaliknya. Tenggang rasa saja, seandainya saya lahir dan besar di keluarga seperti dia, bisa saja pandangan saya berbeda dengan sekarang.

Untuk lengkapnya baca 3 Jurus Membujuk Orang Untuk Hidup Sederhana yang pernah saya ulas dalam menanggapi perbedaan kami.

Tapi kenyataanya suka tidak suka orang menilai kita dari luar

Berpenampilan sederhana tidak identik dengan lusuh atau berpakaian ala kadarnya. Orang yang berprinsip hidup sederhana nyaman dengan apapun yang dipakai selama sopan, nyaman dan pas dengan situasi yang ada. Kuncinya common sense harus dipakai. Kalau pergi interview atau bertemu calon klien, pakailah pakaian terbaik yang Anda punya (tidak selalu harus mahal).

Kalau Anda sudah ada prestasi yang diakui masyarakat seperti dalam kasus Ingvar Kampard, Anda akan punya lebih punya kebebasan menjadi diri sendiri karena orang yang akan mencari Anda dan dress to impress menjadi tidak relevan.

Saya dari kecil hidup susah, memang salah kalau punya cita-cita hidup mewah?

Sekali lagi pilihan gaya hidup adalah hak individu masing-masing. Sebagian orang melihat gaya hidup mewah sebagai motivator kuat dan bentuk prestasi. Terlebih masyarakat kita senang mendengar kisah-kisah from rags to riches (dari miskin menjadi kaya) yang dinilai inspiratif.

Kehidupan miskin cenderung mengundang hinaan, perasaan tidak dipandang, frustasi, selalu serba kekurangan. Rasa haus untuk memperbaiki hidup semakin menjadi-jadi saat menyaksikan kehidupan mereka yang selalu lebih dari berkecukupan tanpa pernah pusing besok makanan datang dari mana.

Memiliki cita-cita dan berjuang demi kehidupan yang lebih baik adalah sangat mulia. Bahkan menurut saya mereka menjadi kaya raya dengan cara halal adalah hal yang terpuji karena selain tidak menyusahkan orang, mereka memiliki potensi lebih besar menolong sesama seperti yang Warren Buffet lakukan dengan menyumbang 99% kekayaannya ke Bill & Melinda Gates Foundation.

Jadi alih-alih memanifestaskan kekayaan yang sudah diperoleh susah payah dalam bentuk hidup mewah, kenapa tidak dikelola untuk kebutuhan jangka panjang agar tidak perlu merasakan lagi kemiskinan? Atau membantu masyarakat yang membutuhkan agar mereka berkesempatan keluar dari lingkaran kemiskinan?

Materi sifatnya fana, tidak akan pernah bisa mengisi kekosongan dalam diri. Yang ada hanya bergelayutan dari satu kenikmatan duniawi ke kenikmatan yang lain tanpa merasa benar-benar terpuaskan.

Jadi tidak mengherankan bila orang ultra kaya seperti Oprah Winfrey dan Bill Gates mengatakan bahwa membangun sekolah, rumah sakit dll memberi kepuasan tersendiri yang tak ternilai.

Anda cuma pecundang, bilang saja malas kerja keras menaikkan taraf hidup pakai alasan hidup sederhana segala, gimana dunia maju kalau semua orang memilih hidup sederhana?

Pertama-tama kita harus meniliti dulu apa yang dimaksud dengan ‘kenaikan taraf hidup’ sesungguhnya. Ekonom menggukur taraf hidup secara tidak langsung lewat pertumbuhan ekonomi lewat angka seperti GDP. Semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi, semakin banyak penyediaan lapangan kerja, semakin tinggi tingkat produksi maka diharapkan tingkat konsumsi domestik juga meningkat yang berujung pada kenaikan taraf hidup masyarakat. Di Indonesia sendiri konsumsi domestik memegang peranan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pada tingkat mikro masyarakat awam, kita juga cenderung mengukur taraf hidup seseorang lewat ‘angka-angka’. Misalnya, seseorang yang mengendarai mobil BMW taraf hidupnya dinilai lebih tinggi dibanding mereka yang mengendarai Toyota karena harga BMW lebih mahal meskipun tujuan utama mobil hanya membawa penumpang dari titik A ke B tanpa ada azas manfaat lebih yang berarti. Bila kita menilai peningkatan taraf hidup seseorang semata-mata berdasarkan nilai nominal barang dan jasa yang dikonsumsi maka kita telah menurunkan derajat kita dari manusia menjadi sekedar konsumen.

Secara fisik manusia pada dasarnya hanya butuh pangan, sandang dan papan yang layak. Setelah 3 kebutuhan tersebut terpenuhi, peningkatan kuantitas materi fisik tidak akan berarti banyak dalam meningkatkan taraf hidup riil. Tidak mengherankan bahwa 10 teratas negara paling bahagia (dan juga maju) di dunia menurut laporan USDN pada tahun 2013 didominasi oleh negara skandanavia (sumber: USDN) meskipun mereka bukan world economy powerhouse seperti Amerika, Tiongkok. Ada satu kesamaan mendasar diantara 10 negara tersebut: kesetaraan (equality).

Kesetaraan disini bukan sama kaya sama miskin tapi mengelola kekayaan untuk kepentingan orang banyak agar tidak ada jurang pemisah yang lebar, memiliki kesempatan yang sama terlepas latar belakang ekonomi sosial indvidu dan sebagian besar masyrakatnya cenderung sederhana, tidak tertarik menunjukkan ‘pangkat sosial’ mereka lewat gaya hidup.

Ya, kekayaan memang penting tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengelola kekayaan yang sudah ada. Bila tertarik mengetahui lebih jauh antara hubungan konsumsi terkendali dan ekonomi berkesinambungan tanpa mengorbankan kualitas hidup, lingkungan dan kemajuan teknologi, silahkan baca esai ketika kuliah S2 saya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disini.

Seandainya kemewahan materi, idealisme gaya hidup konsumtif sudah tidak trendy dan masyrakat beralih bergaya hidup sederhana secara sukarela (sekali lagi ini hanya hipotesis), saya rasa ini yang akan terjadi:

-Kegiatan ekonomi akan lebih selektif yang menekankan pada kualitas azas manfaat bukan sekedar asal laku, penaik gengsi atau fashionable. Win-win solution untuk lingkungan hidup dan masyrakat (sampah mengunung, polusi pabrik juga akan berkurang).

- Masyrakat yang jatuh miskin karena hidup boros, suka kredit, pamer kekayaan akan jauh berkurang karena gengsi sudah tidak dipandang.

-Godaan untuk korupsi juga akan jauh berkurang mengingat uang hasil korupsi pejabat-pejabat selama ini untuk hidup mewah.

-Konflik-konflik diseluruh dunia memperebutkan sumber daya alam seperti minyak bumi demi mempertahankan gaya hidup konsumtif masyrakat negara yang bersangkutan akan menurun.

-Kita akan lebih mudah melihat satu sama lain sebagai manusia berdaulat bukan konsumen, prospek, sumber daya ekonomi, pasar basah dan istilah lainnya yang sarat dengan dunia komersil.

-Kita juga lebih enteng memilih profesi berdasarkan panggilan hidup bukan karena iming-iming penghasilan tinggi agar bisa hidup mewah namun hati serasa kosong.

Terima kasih kalau sudah membaca sejauh ini, kalau ada pertanyaan seputar hidup sederhana silahkan share di komentar.

“Perfection is achieved, not when there’s nothing more to add, but when there’s nothing left to take away” – Antoine de Saint-Exupery

Hendra Makgawinata

Sydney, 13/08/14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun