Mungkin pembaca kecewa karena yang di harapkan adalah respon dari oknum- oknum ataupun Institusiyang disebut dalam tulisan saudara Adi Pribadi.
Sebagai rakyat kecil, miris rasanya hati ini membaca tulisan Adi Pribadi (entah nama sebenarnya atau tidak) di Kompasiana, tanggal 5 Februari 2014 yang berjudul “Saat Keadilan Terusik, Penerimaan Negara terancam” yang menceritakan bagaimana ketidakadilan dalam promosi dan mutasi pegawai di Direktorat Jenderal Pajak (tentu saja versi saudara Adi Pribadi).
Kenapa hati saya miris, bukan tanpa sebab tentu saja. Pertama, setelah saya melakukan analisa singkat dari detilnya uraian yang disampaikan penulis, kesimpulan saya bahwa penulis adalah orang dalam (pegawai DJP) dan kemungkinan besar merupakan “korban” dari ketidakadilan dalam promosi dan mutasi pegawai (tentu saja lagi- lagi saya sampaikan ini menurut perspektif saudara Adi Pribadi). Dengan kata lain bahwa ini adalah permasalahan internal sebenarnya yang kemudian karena tidak mendapatkan saluran di dalam sehingga keluar dan menjadi konsumsi publik. Reformasi Birokrasi yang selama ini di gembar- gemborkan oleh Institusi Pengumpul Pajak rupanya masih setengah- setengah terbukti belum adanya saluran bagi pegawainya untuk memberikan masukan demi perbaikan DJP ke depan. Kalau Reformasi Birokrasi yang masih setengah- setengah saja di anggap sebagai Institusi yang paling berhasil melakukan Reformasi Birokrasi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana Reformasi Birokrasi yang terjadi di Instansi Pemerintah yang lain.
Kedua, saya melihat ini sebuah bentuk “perlawanan” dari bawahan terhadap atasannya karena diberlakukan tidak adil. Dan kalau benar apa yang disampaikan penulis bahwa ada begitu banyak pegawai di DJP yang mendapat ketidakadilan dalam hal mutasi dan promosi, maka sebenarnya ada begitu banyak benih- benih “perlawanan” di Instansi tersebut. Benih- benih ini bisa saja mati sebelum tumbuh apabila “keadilan” diwujudkan, tapi bisa saja benih- benih itu akan tumbuh semakin subur apabila “ketidakadilan” terus disemai. Dalam teori manajemen konflik dikatakan bahwa satu “perlawanan” akan memancing munculnya “perlawanan-perlawanan” yang lain apabila “tuntutan” belum di berikan. “Perlawanan- perlawanan” itu bagaikan retakan- retakan tembok yang menunggu momentum untuk retakan-retakan itu bertemu dan bersatu sehingga terjadilah REVOLUSI (wah ngeri- ngeri sedap kalau ini yang terjadi)
Yang ketiga, peristiwa ini melanda Instansi Direktorat Jenderal Pajak yang sama- sama kita tahu mempunyai fungsi yang sangat- sangat vital dan strategis yakni mengumpulkan penerimaan Negara sebanyak- banyaknya. Sekitar 70 % pembiayaan Negara kita dibiayai dari fulus yang dikumpulkan oleh Instansi ini. Apa jadinya kalau “perlawanan-perlawanan” itu menyebar dan membesar, tentu saja ini akan mengganggu kinerja Institusi dan pada akhirnya nasib rakyat seperti saya ini juga yang kena getahnya. Tanpa adanya “perlawanan-perlawanan” saja beberapa tahun terakhir Instansi Pengumpul Pajak ini tidak mampu mencapai target yang diamanatkan.
Keempat,peristiwa ini terjadi ditengah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini yang disebabkan oleh kasus- kasus yang menimpa pegawai DJP. Seharusnya Internal DJP mampu meredam setiap masalah yang mungkin muncul ke permukaan, mambangun soliditas dan solidaritas, bergandengan tangan agar mampu melewati badai, mampu menghadapi “serangan- serangan” dari pihak luar.
Sebagai warga Negara Indonesia, saya berkepentingan untuk Institusi Pengumpul Pajak ini bisa optimal kinerjanya dan “mandat” yang diamanatkan bisa ditunaikan dengan baik. Tidak terganggu oleh hal- hal “remeh temeh” seperti pola penempatan SDM. Saya yakin di Institusi sepenting DJP pasti banyak orang2 pintar yang ahli dalam Manajemen SDM. Jangan sampai kawan- kawan yang mengabdi di Institusi tersebut di abaikan hak- haknya karena keberlangsungan Negara ini ada di tangan mereka.
Semoga tulisan saudara adi pribadi ini menjadi bentuk “perlawanan” yang pertama dan terakhir yang terjadi di Instansi Pengumpul Pajak ini karena setelah ini “keadilan” yang dituntut sudah mewujud. Bukan karena “perlawanan” ini di BASMI dan di BERANGUS. Percayalah bahwa pemberangusan tidak akan mematikan “perlawanan” tapi justru menyuburkannya, dia hanya akan tertunda momentumnya untuk kemudian pecah dan menimbulkan ledakan yang lebih dahsyat dan mematikan dari sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H