Untung dari Memberi Untung
Akhirnya MoMo selesai setelah diopname selama dua minggu untuk las bodi. Dijanjikan selesai dalam 5 hari, ia baru dapat diambil 14 hari kemudian. Biaya 600k bengkak menjadi 850k, selisih 250k untuk biaya transport selama MoMo dirawat. Beberapa tahun yang lalu, tukang yang merenovasi tempat tinggal juga memberikan hadiah yang sama. Alih-alih selesai 3 minggu, dua bulan kemudian dia baru selesaikan sekitar 90 persen. Bosan dan capek menagih kapan diselesaikan, kunci saya ambil sekaligus memberikan kabar gembira. "Kamu tidak usah datang lagi". Bayangkan berapa besar kerugian yang ditanggung waktu itu; selain kehilangan uang dan waktu, batin juga capek. Â
Si tukang las dan kontraktor sama-sama tidak profesional. Mereka mengambil job di tengah job yang belum selesai. Â Menerima dua, tiga, atau bahkan lima job di saat yang bersamaan dengan sumber daya yang terbatas menyebabkan mereka gagal menepati janji menyelesaikan job tepat waktu. Ini mungkin akan menguntungkan secara finanasial tetapi merugikan untuk jangka panjang. Konsumen yang kecewa tidak akan datang lagi, apalagi merekomendasikan jasa mereka. 'Cukup sekali, aku merasakan....' seperti sepenggal lirik lagu dangdut.
Pengalaman singkat di atas milik banyak orang. Alur kisahnya mirip, pelakunya saja yang berbeda. Ada yang mengalami bersama tukang las, montir motor, kontraktor renovasi rumah, dan lain sebagainya. Intinya, mereka gagal memenuhi janji sehingga konsumen rugi uang, waktu, dan macam-macam. Yang keuangannya terbatas lebih menderita. Motor atau mobilnya hanya satu. Tanpa kendaraan pengganti, banyak urusan tertunda atau biaya membengkak. Mau murah ternyata buntung. Menuntut secara hukum jangan-jangan  nanti malah hanya menambah perkara. Akhirnya, tinggal doa dan harapan yang diperbanyak meskipun sebenarnya ini pun tidak banyak menolong karena kendalinya ada di tangan tukang-tukang tersebut.
Berharap bisnis mereka tutup tentu tidak bijak. Bagaimana nasib istri, anak, dan keluarganya jika periuk nasinya hilang? Pun tidak perlu bermimpi bahwa mereka akan berubah. Sia-sia. Karakter dan cara berbisnisnya sudah mengakar kuat. Tulisan ini untuk Anda supaya Anda sadar bahwa cara mereka mendulang untung sangat merugikan orang lain.
Bisnis itu sudah pasti cari untung. Tetapi bila sudah terlalu banyak dan sering buntung, itu mungkin pertanda bahwa bisnis bukan untuk Anda. Bentuk untung tidak melulu uang. Rezeki bentuknya macam-macam. Selain duit, nama baik juga rezeki. Didoakan pelanggan juga rezeki. Direkomendasikan tentu mendatangkan rezeki. Itu juga keuntungan.
Menguntungkan pelanggan juga termasuk keuntungan. Mereka dan Anda sama-sama untung. Bila sudah demikian, bukankah Anda dan mereka akan mau lagi bekerja sama. Bentuknya mungkin tidak langsung; bisa saja orang dekat mereka yang akan bekerja dengan Anda karena mereka telah mendengar keuntungan yang didapat dari bekerja dengan Anda. Jadi, semakin Anda menguntungkan orang lain, Anda malah semakin beruntung.
Mata uang rezeki adalah kepercayaan. Modalnya adalah komitmen. Janji adalah utang, kata pepatah. Memenuhi janji di awal meningkatkan kepercayaan. Semakin tinggi nilainya, semakin cepat transaksinya. Jawab dengan jujur dan meyakinkan kapan Anda sanggup menyelesaikan suatu proyek. Menolak bukan musibah. Saat waktu terlalu sempit sedangkan sumber daya tak mencukupi, tolak saja. Yakinlah bahwa rezeki tidak pernah pindah ke lain hati. Yang sudah menjadi hak, akan tetap dimiliki. Jangan ambil waktu orang lain demi sedikit pundi-pundi. Waktu pelanggan yang kita curi akan kita bayar suatu hari nanti.
Mari berbisnis dengan hati. Â Rezeki memang perlu dicari dan dimiliki, tetapi jangan terlalu sering obral janji. Jangan membuat konsumen capek hati, menunggu janji yang tak kunjung pasti. Saat mereka semua telah pergi, bisnis tinggal menunggu mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H