Mohon tunggu...
serdaduresah
serdaduresah Mohon Tunggu... Seniman - Bismillàh

Pecinta Sajak

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Aku yang Kalah

21 Februari 2020   14:41 Diperbarui: 21 Februari 2020   14:48 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Untuk awalan dan yang berakhir. Mungkinkah ada pertengahan yang menengah agar kita bisa bersama. Sebuah kata ketidakmungkinan bisakah dimungkinkan. Sebuah kata yang tak mampu dimulai bisakah kita memulai. Berarti sekali, tak berarti. Namun sekali berarti untuk selamanya. Aku sangat sepakat, bukankah itu hal yang menyenangkan bila diwujudkan.

Hal yang paling menyenangkan bagi semua orang adalah saat mengawali, pun menjadi awalan yang terkadang menakutkan. Kita belum tahu alurnya bagaimana, baru sampai pada menengadah kedepan dengan melihat segala kondisi dan situasi. Timbulah berbagai pertimbangan prospektif yang ada dalam pikiran kita. Apa jadinya jika yang timbul adalah hal negatif, pastinya takut tuk memulai.

Namun harusnya kita tahu, awalan yang baik selalu dimulai dengan keyakinan dan berakhirkan sesuai apa yang telah diharapkan. Awalan yang meragukan tentunya berakhirkan sesuatu yang tidak begitu maksimal. Sebuah kata semangat memang menjadi kata yang patut diperjuangkan.

Sebuah kata ketidakmungkinan biarlah menjadi kata yang tersimpan pada akhir sebuah impian yang tak lagi bisa diperjuangkan. Mungkin jadi masa lalu yang menyimpan seribu pahitnya durasi kelam atau menjadi histori cerita penenag tidur bagi anak-anakmu kelak. Dan mungkin akan kubur dalam-dalam agar tak seorang_pun tahu. Aku terlalu cedera pada pahitnya penantian. Mengulangi masa lalu sama halnya mebunuh diri sendiri.

Atau memang aku yang kalah, aku yang lemah, aku yang tak tahu cara menggapaimu. Aku yang tak tahu hati ini akan kuberikan untuk siapa. Terkadang Rindu itu butuh sendiri. Itulah caraku merindukanmu, seorang yang tlah datang berwajah tanda tanya disepiku yang teramat mencekam.

Apa jadi arah depannya. bersamamu kelak namun terpisah oleh akad yang berbeda. Masih berharap namun dihijabkan oleh Ijab. Tatapan masih berdegup namun Qobul telah diiqrarkan. Tangan ingin meraba hanya cincin yang terpampang jelas dijarinya yang manis.

Kamu tahu, aku terlanjur gila. Akal ini tidak kupake berpikir kerna kusimpan didengkul. Kupake berlutut meminta senyummu. Eeaa. Sebelum senyummu menjadi milik orang lain.

Sekian 

By ; Hendra LB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun