Terpekur kutatap curahan salju dari balik kaca jendela. Sinar bola lampu redup tak kuasa menembus hitamnya malam. Serpihan salju halus yang tak pernah berangsur menutupi cahayanya. Membuat  malam semakin  muram, hening, di tengah kakunya cabang -cabang pohon di bebani  salju. Ada pula  butiran-butiran salju yang terlepas dari induknya menempel di atas kaca jendela, membuatnya nampak ber-kilat2.
Gerombolan jengkrik juga tak mau berdiam diri. Alunan suara kor yang kompak, mencoba keras menghangatkan ke kosongan. Mungkin mereka maklum ke galauan yang  ku pendam. Tanpa kuasa, tanpa daya melarutkan diri ditengah  hempasan  aliran waktu. Sendirian, berbalut suka dan duka bergantian.
Sementara serpihan salju terus menari di bawah keredupan bola lampu tua, malampun beringsut ke tengah, ke arah fajar. Perlahan meninggalkan malam yang terasa sakral.
Makhluk-makhluk hidup pun tahu diri, terlelap di tengah balutan  kegelapan malam  dingin dan mencekam. Jengrik pun telah menutup mulut, terlena diatas alunan daun-daun berselaput salju.
Ku telusuri jalan setapak  esok paginya. Namun tak seekorpun jangkrik yang nampak. Hanya gundukan kecil salju  beku berserakan di atas trotoar sempit. Ke heningan pagi dibarengi elusan angin sejuk mulai menyapa.
Ku tengadahkan kepala, memandangi langit berawan berwarna kelabu. Ku ingin menyapa atau  berteriak pada siapapun di atas sana.
Tapi perlukah? Pantaskah?
Aku masih menerawang. Aku masih terdiam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H