Setelah sensasi pamer kekayaan memicu kasus gratifikasi Rafael Alun Trisambodo, sekarang gantian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memamerkan harta Rafael sebagai barang sitaan.
Dugaan kasus yang menimpa Rafael Alun Trisambodo menjadi sorotan publik belakangan ini. Menurut berita yang beredar, Rafael diduga menerima uang dari seorang kontraktor untuk memuluskan proses pengadaan proyek.
Kasus seperti ini tentu sangat memprihatinkan dan tidak sepantasnya terjadi. Sebagai pejabat publik, Rafael seharusnya menjunjung tinggi integritas dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya.
Bagaimana pun, kasus ini menunjukkan bahwa masih banyak oknum yang mencoba memanfaatkan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi.
Baca juga:
Pamer Kekayaan: Fenomena dan Dampak Negatifnya di Indonesia
Dari perspektif sosial budaya, kasus ini memperlihatkan bahwa budaya suap dan korupsi masih sangat mengakar di masyarakat kita.
Banyak orang yang merasa bahwa memberikan uang atau barang untuk memuluskan sesuatu adalah hal yang lumrah dan tidak masalah. Padahal, tindakan seperti ini sangat merugikan negara dan masyarakat secara keseluruhan.
Pemeriksaan yang lebih mendalam terhadap Rafael Alun Trisambodo ini juga dipicu oleh ulah pamer kekayaan dan kasus penganiayaan oleh putranya, Mario Dandy Satriyo. Perilaku tersebut menuai kecaman dari masyarakat luas.
“Korupsi bukanlah tanda bahwa negara kuat dan serakah. Korupsi adalah sebuah privatisasi-- tapi yang selingkuh. Kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya merepotkan, tapi tanpa kewibawaan.”
(Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 7)
KPK memajang barang-barang hasil sitaan dari Rafael. Terlihat uang tunai dan serangkaian tas bermerek mewah yang berhasil disita oleh KPK selama penggeledahan di kediaman Rafael di Jakarta Selatan.