Perhelatan demokrasi sepertinya telah dapat dikatakan usai, pasca berakhirnya Pilkada. Walau banyak menyisakan duka, bagi beragam konflik yang menyertainya. Faktanya, kedewasaan kita diukur dari konstelasi politik lima tahunan.
Bukan sekedar dari para calon wakil rakyatnya, pun dengan para simpatisan atau pendukungnya. Konflik berdarah yang sampai menimbulkan jatuhnya korban, tentu menjadi catatan kelam bagi kita semua.
Termasuk keterlibatan aparatur pemerintah, yang seharusnya netral. Banyak aspek yang menjadi catatan perihal netralitas dalam konstelasi keadilan berdemokrasi. Karena disitu ada harapan-harapan yang tersajikan dalam ruang publik.
Harapan rakyat, yang termanifestasi dalam setiap ruang kampanye. Dengan berbagai program yang dijanjikan, ataupun tengah dijalankan. Dengan maksud yang dapat dijadikan area konsekuensi politiknya.
Inilah realitas demokrasi kita, sebuah antitesa demokrasi kita ala Mohammad Hatta.
Harapan-harapan yang tersaji seolah menjadi tabu untuk diungkap kemudian. Siapapun pemenangnya, tidak ada ruang untuk dapat mengapresiasikan pertanyaan, usai keputusan. Tinggal menanti realisasi yang tak harus diutarakan.
Walau sejuta harapan yang tersusun ada dibalik saku para simpatisannya. Apalagi rakyat, yang sekedar memberikan hak suara, kewajiban bukan lagi perihal terealisasikannya program. Namun sebatas hak politik, tanpa timbal balik.
Tuntutan adalah hal tabu yang dapat diutarakan, apapun kebijakan yang kemudian ditetapkan sebagai realisasi ya. Semua wajib menerima, walau jauh dari ekspektasi yang disajikan ketika kampanye.
Termasuk para wakil rakyat yang telah terpilih, ikatan politis sebatas ikatan kuantitas, tanpa profesionalitas. Jumlah suara menjadi sangat penting, daripada meredaksikan janji-janji politik yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Suara-suara yang mengemuka walau berhadapan dengan berbagai "ancaman" adalah fakta sebenarnya. Bagaimana proses demokrasi kita saat ini tengah berlangsung. Gap politik antara penguasa dengan rakyat, adalah sekat yang nyata.