Apalagi para mahasiswa KKN ini, rata-rata memang memiliki keterbatasan dalam hal "uang saku". Maka, ngalap berkah dengan cara nggasak ini seolah jadi anugerah terbesar selama masa KKN berlangsung
Alih-alih dapat dijual kembali, rata-rata hasil nggasak justru dipakai untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari.
Nggasak Sebagai Tradisi Positif
Ada semacam kebiasaan tradisional yang memang diterapkan oleh masyarakat setempat di beberapa daerah.
Tak terkecuali dengan perilaku "balas jasa", seperti yang pernah diterangkan R. Bintarto (1986). Dimana masyarakat desa hidup berasas gotong royong sebagai kekuatan berproduksi atas dasar kerjasama dan perilaku saling pengertian.
Dasar inilah yang kemudian membuat relasi sosial masyarakat desa semakin terbuka. Khususnya jika mahasiswa KKN dianggap telah berhasil memberi kontribusi positif kepada desanya.
Maka, tak lain adalah dengan memberi "keleluasaan" bagi para mahasiswa untuk dapat menikmati hasil pertanian masyarakat, hal ini sebagai salah satu contohnya.
Nggasak yang dianggap negatif, justru memberi dampak positif. Selain agar proses distribusi hasil pertanian juga dapat diviralkan kepada masyarakat umum.
Artinya, ada semacam simbiosis mutualisme yang kemudian terdapat dari perilaku sosial berorientasi ekonomi ini. Selain itu, dapat mengurangi hasil pertanian yang dianggap over produksi.
Lain hal jika pada daerah tertentu memiliki potensi alam yang berbeda, seperti pada masyarakat pesisir, yang lekat dengan budaya melautnya. Biasanya hasil tangkap lautlah yang diberikan secara cuma-cuma bagi mahasiswa KKN.
Walau beda secara geografis, namun memiliki kebiasaan yang identik sebagai masyarakat tradisional.