Fenomena desa wisata yang tengah jadi primadona healing kekinian, fakta kerap meninggalkan konflik sosial di masyarakat. Khususnya dari para pelaku wisata dan kelompok sadar wisata (pokdarwis). Dengan masyarakat sekitar yang memang tidak terlibat pada perilaku ekonomi berorientasi wisata.
Kemungkinannya adalah keengganan untuk terlibat secara langsung, dan atau tidak diikutsertakan mengurus sebuah lokasi wisata. Seperti yang penulis rasakan sendiri ketika mengunjungi Ds. Argosari, Senduro, Lumajang. Sebuah desa wisata yang menjadi lokasi transit jika hendak menuju puncak B-29/P-30.
Pokdarwis yang seharusnya memiliki wewenang untuk membantu kelola desa/kawasan wisata, justru kerap berbenturan dengan masyarakat lainnya. Lantaran tidak dianggap sebagai bagian dari perilaku ekonomi sadar wisata. Dimana biasanya kehadiran mereka justru ada di sentra-sentra transit moda transportasi umum area wisata.
Bukannya membantu memfasilitasi pelaku wisata, kehadirannya justru dianggap "meresahkan" karena sikap memaksanya. Dengan memberikan tarif sesukanya, tanpa ada alternatif yang saling menguntungkan. Walaupun secara tidak langsung, memang memberi kemudahan bagi pengunjung untuk dapat mengakses lokasi wisata dengan mudah.
Walau secara proporsional, tarif yang dikeluarkan lebih tinggi dari harga normal. Namun tetap saja, banyak para pelaku wisata yang tetap memakai jasa mereka. Disinilah letak persoalan perihal eksistensi dari Pokdarwis. Dimana seharusnya kehadiran mereka dapat meminimalisir persepsi negatif sebuah area wisata.
Kesadaran menjaga area wisata agar mendapat apresiasi positif, tentu sudah menjadi tujuan didirikannya Pokdarwis. Walau harus berbenturan dengan masyarakat lain. Dalam hal ini, yang memiliki kepentingan pribadi tanpa menghiraukan aturan yang telah ditetapkan. Semisal bagi para ojek lokal yang berada di luar Pokdarwis, tepatnya di sekitar Pasar Senduro.
Faktanya mereka kerap "memberi" tawaran bagi para pelaku wisata untuk memakai jasanya. Berikut dengan ketersediaan sarana transportasi umum yang memang memberi akses ke area wisata. Ada semacam keterikatan antara satu dan lainnya, kala melihat potensi "cuan" telah nampak, walau hal itu bukanlah menjadi wewenang dan tanggung jawabnya.
Jadi, dalam catatan ini dapat diterangkan, bahwa Pokdarwis pun tak dapat mencegah persoalan ini mengemuka. Termasuk aparatur setempat, yang memang tidak berkewenangan memfasilitasi gap antar masyarakat. Kecuali ada kebijakan tepat sasaran, dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan bersama sebuah area wisata.
Seperti di kawasan Batu, Malang, yang menawarkan konsep ekowisata langsung dengan masyarakatnya. Dengan arahan dan kebijakan yang tepat dari pemerintah setempat. Agar tidak terjadi clash antar masyarakatnya. Walaupun konsekuensi yang didapatkan, belum tentu mampu menutupi persoalan ekonomi secara baik.
Dimana potensi ekonomi dapat dikembangkan secara baik jika semua aspek dapat bekerjasama dan saling melengkapi. Poin inilah yang kiranya penting dicermati bagi seluruh masyarakat dengan potensi wisata daerahnya. Agar tidak ada yang merasa dirugikan ataupun disalahkan, menimbang kemajuan wisata tentu berangkat dari kesadaran masyarakatnya.