Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Humanisme Internasional dari Palestina

12 Mei 2024   07:08 Diperbarui: 12 Mei 2024   07:08 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aksi pro Palestina (sumber: AP PHOTO/KHALIL HAMRA via Kompas.id)

Ketetapan DK PBB dalam status negara Palestina, memang tidak lepas dari pengaruh negara adi kuasa. Dalam pandangan Amerika, Palestina tak lain hanyalah wilayah jajahan yang harus dikuasai untuk kepentingan Israel. Tak luput dengan problematika politik dan sosial yang tampak setelahnya.

Bahkan, sejak Peristiwa Nakba di tahun 1948, Amerika dan Israel beserta negara-negara sekutunya, masih gencar menebar playing victim bagi para pejuang pembebasan Palestina. Dalih apapun dalam skala kecila, akan dianggap sebagai perlawanan besar tersistematis.

Maka sudah menjadi realitas kemanusiaan, dengan ribuan korban yang berjatuhan sejak Intifada pertama meletus. Dalam hal ini kita dapat bandingkan dengan apa yang pernah terjadi di Indonesia. Agar tampak keadilan secara sudut pandang historis, dalam menilai krisis kemanusiaan di Palestina.

Tentu kita ingat, bagaimana proses pemindahan kekuasaan pasca Jepang di tahun 1945 menjadi era tersulit dalam sejarah Indonesia. Masa Bersiap, seakan menjadi "momok" yang seakan enggan untuk diungkapkan secara faktual. Lantaran kekerasan sosial berdalih politik menjadi hal yang lumrah kala itu.

Pun pada masa pendudukan Belanda pasca Indonesia merdeka. Agresi-agresi militer Belanda yang terjadi, kerap menjadi realitas krisis kemanusiaan yang pernah diungkapkan oleh K'tut Tantri. Sebagai jurnalis internasional yang pro kemerdekaan Indonesia, Tantri menjelaskan fakta-fakta yang sangat mengiris rasa kemanusiaan.

Tak terkecuali rakyat jelata yang menjadi korban keganasan tentara asing, ketika hendak menguasai kembali tanah jajahannya. Walau secara politis, kecaman dunia telah ditunjukkan sebagai bentuk solidaritas internasional kepada Indonesia. Kiranya catatan inilah yang dirasa perlu dipahami dalam melihat Palestina.

Kahin, dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia pun menuturkan bagaimana sikap bangsa asing dalam menilai krisis peralihan kekuasaan di Indonesia. Dukungan rakyat internasional terbungkus menjadi satu kekuatan dalam membangun animo anti kekerasan. Dimana secara tidak langsung mampu mempengaruhi DK PBB kala itu.

Rakyat Australia melakukan boikot kepada kapal-kapal dagang Belanda, Black Armada. Pun dengan rakyat Asia, yang pada umumnya menentang dominasi Sekutu di wilayah Asia Tenggara khususnya. Serupa dalam sejarah perlawanan di Burma, Vietnam, ataupun Korea. Walaupun pemahaman terhadap korelasi sejarah kini tak lagi dipahami secara utuh.

Kiranya ada beberapa faktor yang mendasari humanisme internasional saat ini berbeda dengan masa lalu. Tak lain karena faktor masyarakat dunia yang lebih konsumeris dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Dalam perspektif kapitalisme global, yang merambah ke segala area kehidupan masyarakat modern.

Namun, kekhawatiran tersebut kiranya telah terjawab dalam beberapa waktu belakangan ini. Dukungan kaum intelektual menjadi pemicu lahirnya humanisme internasional yang lebih masif. Pendekatan kesadaran moral ataupun dukungan secara empati telah menuai simpati dari rakyat dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun