Patut diulas kiranya perihal isu ketimpangan sosial yang mengemuka dalam ruang pemilu kali ini. Tak lain karena realitas sosial yang mulai cenderung resisten terhadap dukungan politis dari masing-masing paslon kandidat.
Pun dengan para barisan pendukung "garis keras"nya, dalam area akar rumput bersama para partisannya. Belum lagi berbagai wacana kampanye hitam yang mulai mengemuka dalam modenya masing-masing.
Serta tak luput media sosial, sebagai area trigger warning, yang selalu menjadi area "perang" antar pendukung di jagad maya.
Bukan sekedar berlomba-lomba dalam mencari dukungan politik, melainkan mengarah pada pertentangan politis antar sesama. Walau kita pahami, kebutuhan suara menjadi target utama dalam pemenangan dalam sebuah kontestasi.
Namun, secara faktual, basis akar rumput inilah yang kerap "termakan" isu-isu yang tidak membangun. Seperti yang pernah terjadi pada 23 Mei 1997 silam, atau yang dikenal dengan Peristiwa Jumat Kelabu.
Dimana secara historis dijelaskan bahwa Tragedi Jumat Kelabu berkaitan dengan meletusnya resistensi sosial antar para pendukung partai politik kala itu. Hingga menimbulkan terjadinya aksi saling serang, yang memakan banyak korban jiwa.
Kerusuhan massal yang pernah terjadi di Banjarmasin, pun merembet hingga kota sekitarnya. Dalam hal ini, pemantik konflik yang terjadi di masyarakat sudah seharusnya tidak dijadikan komoditas politik saat ini. Khususnya dalam aspek sosial-ekonomi.
Dasarnya tak lain tentu saja perihal ekonomi, yang menjadi dasar ketimpangan sosial. Catatan utamanya adalah area perkotaan, dengan tingkat kerawanan yang meningkat sejak bulan Maret 2023 (BPS/Rasio Gini).
Meningkatnya ketimpangan sosial, walau tidak secara langsung dapat dikaitkan dengan realitas pemilu, namun memiliki andil dalam keterlibatan secara politis. Tak lain karena isu-isu perihal ketimpangan sosial antara kota dan desa, kerap dijadikan narasi negatif.
Keberpihakan bukan lagi berdasar atas asas demokrasi secara relevan, namun beralih pada popularitas tanpa disertai demokratisasi yang disajikan secara edukatif. Lagi-lagi, kuasa adalah segala-galanya dalam realitas politik saat ini.