Ada Kak Mir*; "...kalau nanti politik identitas tetap muncul, ga akan baik deh kedepannya, en tentunya bukan pilihan lah buat gue...".
Ada juga Bang Ad*; "...kemarin, salah satu paslon dah bisa bikin kita bersimpati, karena retorikanya mantap, khususnya saya sih...".
Bang Od*; "...anak-anak sih bakal pilih yang perjuangin hak-hak kita, tapi belum ada tuh yang ngomongin soal kita...".
Bang Kit*; "...kalau saat ini saya menilai dari kapabilitas wawasannya sih, kelihatan banget siapa yang punya konsep dan yang tidak...".
Nah, dua lainnya memilih untuk tidak mengutarakan alasan spesifiknya. Namun masih tetap pada pendiriannya dengan jawaban singkat; "...lihat nanti saja...".
Artinya, para undecided voters ini masih mengharap yang terbaik dari para paslon dengan politik keberpihakannya. Bukan sekedar memberi janji kampanye atau gimmick politik, demi meraih simpati dari para konstituen.
Mereka tidak serta merta memberikan pilihannya, namun melihat dan membaca realitas politik yang terjadi hingga masa pemilihan berlangsung. Apalagi jika area marjinal, kerap disebutkan sebagai ruang terbesar bagi undecided maupun swing voters.
Kita dapat tinjau dari data BPS per bulan Maret 2023, bahwa jumlah penduduk marjinal di Indonesia sebesar 7,29 persen. Dimana mayoritasnya adalah para konstituen yang masuk dalam kategori undecided voters.
Belum lagi bagi kalangan akademisi, yang secara realistis memiliki pandangan khusus terkait kapabilitas intelektual. Dalam hal ini, ruang akademis dapat menjadi bagian dari undecided voter yang cenderung menguat ketika hendak memberi keputusan politiknya.
Kecenderungan yang tentunya dapat memberi paradigma tertentu bagi swing voters dalam berbagai momentum. Entah dalam ruang-ruang akademik ataupun kala diskursus terbangun antar kelompok akademisi.
Kiranya kita belum dapat memberi proyeksi secara kalkulatif keberpihakan politik yang tampak saat ini. Apalagi disebut-sebut, para undecided voter ini adalah suara penentu bagi para paslon yang berkompetisi dalam gelar pemilu 2024 mendatang.