Maraknya kasus bunuh diri di kalangan pelajar dan mahasiswa sepertinya jadi perhatian serius belakangan ini. Tak luput terhadap lembaga pendidikan, yang menjadi garda terakhir dalam mengurai persoalan ini.
Problematika ekonomi, masalah keluarga, dan lingkungan sosial, disebut-sebut sebagai biang keladi maraknya aksi bunuh diri. Jika diperhatikan, dalam kurun waktu 1 bulan ini, telah terjadi 2 kali peristiwa bunuh diri di kalangan mahasiswa, dan 2 lainnya pelajar.
Seperti yang baru-baru terjadi, teror pinjol membuat seorang pelajar SMK di Tuban memilih untuk mengakhiri hidupnya. Tak lama setelah aksi bunuh diri 2 mahasiswa di Semarang. Sebelumnya hal serupa juga terjadi di Jakarta, dengan korban seorang pelajar SD.
Kasus bunuh diri ini kiranya dapat menjadi catatan, betapa rapuhnya generasi saat ini dalam menghadapi realitas hidup. Tentunya hal ini dapat dianalisis melalui faktor lingkungan para korban. Permasalahan pribadi yang tidak selesai, dan sikap anti sosial.
Ada catatan menarik dalam melihat fenomena ini dari sudut pandang psikologi. Menurut Nopi Rosyida (psikolog UGM), depresi yang dihadapi sendiri dengan perasaan bersalah yang berlebihan, dapat menimbulkan ide untuk mengakhiri hidup.
Menurutnya, setidaknya ada 5 simtom yang dapat menjadi indikasi terjadinya upaya aksi bunuh diri, yakni:
1. Perasaan tertekan setiap hari, karena faktor kesalahan diri dengan menunjukkan perilaku sedih, kosong, dan putus asa;
2. Berkurangnya minat melakukan aktivitas sehari-hari, yang biasa dilakukan dan diketahui orang lain;
3. Terlihat adanya penurunan berat badan, lantaran tidak nafsu untuk makan selama beberapa hari;
4. Munculnya perilaku insomnia atau hypersomnia secara tiba-tiba, yang tidak menjadi kebiasaannya sehari-hari;