Malam jahaman, kiranya ini bukanlah kisah dari karya teatrikal Mottingo Boesie, yang menceritakan perihal konflik sosial semata. Melainkan kisah betapa mengerikannya malam-malam pasca peristiwa 1965 terjadi. Konflik politik, yang kerap berujung pada aksi saling adu kekerasan dan terjadi dimana-mana kala itu.
Lantaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap terlibat pada aksi pembunuhan Jenderal-Jenderal TNI di Jakarta dan Jogjakarta. Walau patut dipahami, bahwa para elit PKI faktanya memang terlibat dalam siasat berantai yang memunculkan sebuah gerakan pemberontakan. Seperti yang pernah diungkap oleh Kuncoro Hadi, dkk, dalam Kronik '65.
Inilah muasal, sebuah gerakan yang menimbulkan konflik sosial berlatar politik hingga bertahun-tahun lamanya. Baik yang diketahui terlibat atau bersalah secara langsung, ataupun tidak. Dalam hal ini, tidak menutup fakta banyak diantara korban adalah mereka (rakyat) yang buta politik. Bahkan sekedar mendapat bantuan dari PKI untuk kebutuhan ekonomi, pun turut menjadi korban.
Selain dari kisruh politik antar partai yang berangkat melalui konflik ideologis. Sentimentil antar kelompok pun sedianya justru kerap ditampilkan sebagai pembuka lembar hitam kisah tragis di malam-malam jahaman. Terlebih ketika meletus peristiwa pemberontakan PKI di tahun 1948. Sejak saat itulah, konflik politik selalu memanas dalam tendensinya masing-masing.
Hingga semuanya memuncak kala peristiwa 1965 meletus. Konstelasi politik yang awalnya memihak kepada PKI pun berubah drastis. Semua elemen politik, bahkan massa rakyat berbalik memberi perlawanan terhadap apa yang pernah kaum komunis lakukan di masa lalu. Tak luput terhadap aksi intimidasi, hingga pembunuhan antar sesama, lantaran berbeda ideologi.
Lubang-lubang pembantaian pun "berserakan" di setiap daerah. Semua ditumbun jadi satu pusara, baik yang dianggap salah ataupun tidak terbukti melakukan kesalahan. Konflik sosial pun banyak yang mengemuka menjadi sentimentil personal. Aksi saling curiga antar sesama, kerap berakhir pada aksi pembunuhan. Bahkan dengan tetangga sendiri.
Tak terhitung pula, jumlah korban dari para Kyai, guru ngaji, santri, atau aparatur setempat. Pun dengan para petani dan tukang becak, yang dianggap pro komunis. Semua menjadi korban di malam-malam jahaman pasca peristiwa pembantaian di malam 1 Oktober 1965. Sejak itulah, identifikasi aksi sosial kerap diwarnai dengan "bumbu" ideologi komunis, yang terlarang.
Selama 32 tahun lamanya, konflik atas dasar ideologi tersemai menjadi mimpi buruk yang suatu waktu dapat terwujud kembali. Tak lain karena ideologi tidak dapat mati, walau gerakannya sudah "dimatikan". Persemaian konflik idologi yang kerap mewarnai konstelasi politik setiap dasawarsa, pun tak luput dari sikap waspada akan bahaya laten komunisme.
Selalu terulang, bahkan setiap tahunnya. Seiring perkembangan zaman, dan generasi, yang sedianya pula turut menjadi bagian dari lahirnya gerakan baru "neo komunisme". Sejarah memang masa lalu yang kelam, dan patut dilupakan. Namun, ada kalanya, belajar dari sejarah justru dapat mengurai potensi bangkitnya konflik atas dasar ideologi.
Semua kembali kepada pribadi kita masing-masing. Khususnya dalam memaknai peristiwa di malam-malam jahanam puluhan tahun silam. Baik dari sisi positif, atau negatifnya, tanpa ada unsur yang bersinggungan. Tak lain demi menghormati semua yang telah gugur, dan menjadi korban atas peristiwa tragis di masa lalu.