Lantaran masyarakat lokal diminta untuk mencari area lahan plasma secara mandiri. Diluar dari area perkebunan yang telah dikuasai perusahaan sepenuhnya. Lain pihak, lahan garap masyarakat tidak lagi ada karena seluruh lahan telah ditanami tanaman perusahaan.
Sama halnya atas apa yang terjadi di Papua, problematika alih fungsi lahan, disebutkan justru membuat masyarakat lokal tersingkir dari tanah adatnya. Sebuah catatan yang pernah dipublikasikan oleh Dandhy Laksono, kala menjalankan Ekspedisi Indonesia Biru.
Hingga saat ini, polemik perihal lahan plasma masih menjadi masalah antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. Walau telah banyak sanksi hukum yang diberikan kepada perusahaan karena tidak menjalankan kewajibannya.
Namun, sanksi hukum tersebut kerap dianggap terlambat. Lantaran sudah tidak ada lagi lahan garap yang dapat dipergunakan oleh masyarakat sebagai kompensasinya. Lagi-lagi, hasilnya adalah jalan damai yang berakhir pada ganti rugi berupa uang.
Sebuah hasil yang merugikan secara sosial, sebagai ruang hidup perekonomian berkelanjutan. Ketiadaan ketahanan ekonomi inilah yang dapat menjadikan ruang konflik sosial semakin tidak terselesaikan. Ketimpangan semakin tegas, dan resistensi semakin kuat.
Selain dari persoalan kuasa atas wewenang perusahaan, kala pertama kali melakukan pembukaan lahan. Minimnya pemahaman masyarakat terkait hak dan kewajiban, serta aturan hukum yang berlaku, biasanya menjadi dasar pertentangan di kemudian hari.
Entah dari pemangku kebijakan, ataupun kala penerapan aturan hukum yang dijalankan. Semua harus mempertimbangkan asas kemanusiaan yang berkeadilan. Bukan justru mengedepankan kepentingan konglomerasi melalui relasi kuasanya.
Rata-rata masyarakat justru menjadi korban kriminalisasi atas hak yang seharusnya didapatkannya. Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H