Masyarakat Rawa Pening kiranya telah mengalami dampak revitalisasi yang berakhir pada agenda gentrifikasi. Sebuah kebijakan yang awalnya memberikan kesan positif dengan pola kolaborasi bersama masyarakat, namun, seiring prosesinya, masyarakat justru merasa dirugikan karena area mata pencaharian ekonominya terganggu.
Revitalisasi danau yang diproyeksikan sebagai arena wisata, justru memberi ruang terbuka untuk kehadiran para pendatang dari luar, khususnya dari kota besar, seperti Semarang, Surakarta, Yogyakarta, bahkan Jakarta. Inilah cikal bakal resistensi yang terjadi sebagai dampak program pengembangan desa wisata.
Konsekuensi yang tentunya berdampak pada mata pencaharian penduduk setempat terjadi di Desa Bajelan dan Sumurup. Kehadiran penduduk dari luar kota dengan modal mencukupi untuk terlibat dalam kegiatan pariwisata, cukup membuat masyarakat lokal khawatir. Kemandirian ekonomi setempat pun seakan terancam dengan potensi ketimpangan modal yang jauh lebih menjanjikan.
Apalagi dengan hadirnya banyak penginapan dan kedai yang dimiliki orang-orang pendatang, di sepanjang Jl. Jenderal M. Sarbini hingga Tuntang. Pengembangan home stay berbasis e-commerce secara tidak langsung mematikan daya saing masyarakat lokal yang hanya mengandalkan lokasi strategis sebagai usahanya, seperti pada area wisata air ataupun spot menarik lainnya di Rawa Pening.
Bahkan diceritakan ada di antara para pelaku usaha tersebut telah menjalin kerja sama dengan pemerintah setempat untuk membuka lahan sewa perahu yang terintegrasi. Itu artinya mengurangi potensi wisatawan untuk dapat menyewa perahu dari pelaku usaha lokal jika hendak menikmati keindahan alam dan sunset di sini.
Di lain pihak, dukungan aksesbilitas sudah menjadi polemik yang tak kunjung tuntas di sekitar area wisata. Penduduk lokal pun hanya dapat bertahan dengan warung-warung apung tradisional, termasuk para penjual souvenir eceng gondok yang tersebar di setiap titik tertentu (area parkir kendaraan wisatawan).
Ada semacam kecemburuan sosial, yang secara tersirat mengemuka kala penulis berdiskusi dengan penduduk lokal di sana. Ungkapan "area ini milik si A asal B, area sana milik si C asal D, dst", selalu jadi bahan pembicaraan yang kerap disertai canda tawa. Sebuah realitas yang sepertinya selalu disampaikan kepada para wisatawan di sana.
Tak luput tentu saja pelaku usaha perahu tradisional, yang juga gelisah lantaran hadirnya boat modern yang lebih menarik minat wisatawan. Demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, mereka hanya mengandalkan potensi wisata dan alam dari sekitar area Rawa Pening. Demikian pula mayoritas masyarakat yang tak lain berprofesi sebagai nelayan, serta sebagian lainnya adalah petani.
Bahkan pada tahun 2021 silam, pernah ada konflik antara masyarakat setempat dengan para pemilik modal. Sebagai respons dari revitalisasi area rawa, yang dianggap merugikan warga. Khususnya di Desa Sido Makmur, yang secara tegas menolak adanya upaya revitalisasi karena menganggap akan mengganggu ruang ekonomi warga desa tersebut.