Persoalan polusi udara yang masih sisakan problematika, kiranya sudah semakin berdampak kepada masyarakat. Khususnya Depok, yang masih bertengger di urutan 3 besar, kota paling tidak sehat udaranya. Seperti yang dilansir dari laman IQAir, dengan tingkat polutan tinggi selama beberapa hari belakangan ini.
Dengan nilai 177, dan jauh diatas ambang batas wajar untuk dihirup oleh manusia. Pun dengan persoalan kendaraan yang makin masif bergerak di pusat kota. Walau telah ada aturan pembatasan berkendara oleh Walikota Depok, dan upaya WFH sebesar 30 persen. Kiranya masih belum dapat menyelesaikan persoalan polusi tersebut.
Belum lagi, kurangnya area ruang terbuka hijau di sepanjang Jl. Margonda. Dengan kondisi kemarau, yang memperparah keadaan. Maka wajar jika Depok masuk dalam kategori kota terpanas selama sepekan ini. Tentu dapat dipahami, bagaimana realitas tersebut dapat mempengaruhi berbagai persoalan sosial lainnya.
Apalagi Depok merupakan kota penyangga Jakarta. Dengan rasio 65 persen pekerja Jakarta berasal dari Depok. Nah, disini sudah dapat terbayangkan, bagaimana moda transportasi dan kendaraan menjadi penyumbang nomor satu polutan di Depok. Bahkan disebutkan bahwa, penderita ISPA naik hingga 60 persen selama sepekan.
Ada beberapa aspek yang dapat ditinjau secara holistik tentunya. Selain dari kebijakan publik terkait upaya penanganan KLB seperti ini. Tentunya dari upaya pengurangan altivitas kerja yang bekerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta. Lantaran mayoritas warga Depok bekerja di Jakarta. Pun dengan aktivitas pendidikan, yang dapat dijadikan opsi alternatif bagi pengurangan mobilisasi kendaraan.
Kondisi yang diperparah dengan hiruk pikuk aktivitas lainnya, seperti pasar dan ruang publik lainnya. Laju mobilitas publik di Kota Depok khususnya kiranya dapat terurai sebagaimana kebutuhan dan kepentingan umum yang layak guna. Aturan yang tepat sasaran, dan sesuai dengan harapan publik dalam menjalani fenomena El Nino saat ini.
Efek El Nino yang diperparah dengan polusi udara, kiranya sudah masuk dalam zona kritis yang dapat merugikan semua. Tanpa harus mencari siapa yang salah, dan tinggal bagaimana kita sama-sama dapat meredam dampaknya. Pun dengan kebijakan yang dikeluarkan, ada baiknya sumbangsih saran bisa menjadi alternatif yang dapat menjadi gerakan bersama.
Bukan justru gelar ketentuan tanpa ada unsur pelibatan publik dalam mengurai persoalan ini. Ruang-ruang terbuka di sekitar jalan utama dapatlah menjadi prioritas utama. Dengan optimalisasi berbagai peluang yang positif untuk sekedar membuat "adem" para penggunanya. Khususnya bagi persoalan transportasi massal yang bisa dijadikan solusi alternatif bagi para pekerja.
Ada semacam simbiosis mutualisme yang juga harus dipertahankan, tanpa merugikan berbagai pihak. Khususnya bagi para pekerja, yang menggantungkan perekonomiannya dari pekerjaannya masing-masing. Dalam konteks keberpihakan yang memang menjadi prioritas bagi sebuah solusi yang baik untuk semua pihak.
Namun, lagi-lagi harus membuka keran kerjasama antar instansi yang positif. Dengan pula melibatkan para pemangku kebijakan di DKI Jakarta, agar solusi dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran. Tidak serta merta terkesan bertindak tanpa memberi dampak positif bagi publik. Baik dalam sektor ekonomi, kesehatan, dan pendidikan, yang rata-rata menjadi area terdampaknya.