Marak kiranya persoalan aturan kerapihan rambut di lingkungan pendidikan selalu berakhir dengan aksi potong rambut. Baik di lingkungan kampus ataupun di lingkungan sekolah, tanpa ada aturan baku yang menyertainya. Yakni terkait sanksi dan sikap tegas perihal penerapan aturan kepada para pelanggarnya.
Tak ayal, banyak bermunculan sikap protes kala penerapan aturan tersebut dilakukan. Lantaran dalam berbagai macam kondisi atau problematika yang tidak dapat disamakan secara umum. Secara situasional, kiranya dapat dipahami sebagai puncak dari mekanisme yang diterapkan secara bertahap. Khususnya dalam locus pelanggaran etika.
Hal inilah yang kala Orde Baru pernah menjadi polemik, hingga menuai berbagai macam sikap kontradiktif. Aturan dilarang gondrong bahkan mencuat sebagai bagian dari kebijakan pemerintah dalam melakukan kontrol terhadap ruang pendidikan. Pada beberapa waktu bahkan kerap dilakukan razia untuk menindak para pelaku pelanggaran tersebut.
Identifikasinya tak lain karena dianggap sebagai "pembangkang" atas sikap dan kebijakan pemerintah dalam aspek budaya. Selain itu, budaya gondrong, dianggap sebagai bagian negatif bercorak barat yang identik dengan unsur perlawanan. Bahkan diatur dalam bagian Undang-Undang Subversif.
Razia rambut gondrong, tercatat pertama kali pada 8 Desember 1966 di kawasan Stasiun Tanah Abang, Jakarta. Hingga menjadi aturan baku yang wajib ditaati oleh setiap warga negara Indonesia. Jika melanggar, maka akan sulit mengurus surat-surat atau kepentingan lain yang berkenaan dengan lembaga pemerintahan. Termasuk SIM dan bahkan KTP.
Yudhistira A.W dalam buku "Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970an", bahkan memberi fakta yang kontradiktif. Pelibatan aparat keamanan dalam menekan budaya gondrong, justru memantik lahirnya semangat perlawanan. Pun terhadap mereka yang dikategorikan sebagai kalangan pelajar dan mahasiswa.
Perploncoan (ospek) bahkan diwarnai dengan aturan gundul bagi calon mahasiswa yang hendak masuk kuliah. Sebuah aturan yang menegaskan bahwa lembaga pendidikan tidaklah dapat dibebaskan sebagaimana kemerdekaan berpikir. Bahkan di cap sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan, kala itu.
Kiranya, dasar budaya sebagai simbol identitas bangsa sudah menjadi aturan baku yang tidak dapat digugat. Tanpa disertai argumentasi yang memberi ruang diskursus sesuai kebijakan NKK BKK pada tahun 1977. Khususnya usai peristiwa Malari meletus di tahun 1974, yang makin memberi kesan negatif atas kebebasan berekspresi.
Hingga awal tahun 1990an, pemberlakuan NKK BKK yang digantikan dengan Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan perlahan membuat ruang konsolidasi jadi terbuka. Turut pula identifikasi budaya atas rambut gondrong kembali menjadi tren yang mulai diminati lagi di kalangan pelajar. Walau masih tegas aturan tersebut diterapkan di berbagai lembaga pendidikan.
Ada semacam bentuk ekspresi diri yang tidak dapat dikekang oleh aturan, seiring perkembangan zaman dan media global. Masuknya ide dan gagasan global pun menjadi dasar bagi lahirnya budaya-budaya baru di kalangan anak muda. Tak terkecuali saat ini, dengan masifnya informasi yang berkembang secara terbuka, tanpa ada batasan dan pemahaman terhadap kultur bangsa yang mengikat.