Kita tentu kenal antropolog bernama Clifford Geertz, seorang peneliti yang mencetuskan teori tiga kelas sosial pada masyarakat Jawa. Melalui bukunya, The Religion of Java, Geertz menjelaskan sistem sosial yang tampak di Desa Mojokuto, Jawa Timur. Sebuah desa kecil yang kini dikenal dengan nama Pare, tak jauh dari Kota Kediri.
Menariknya, penelitian Geertz menjelaskan bagaimana kelas sosial di masyarakat, terbagi menjadi beberapa identitas (kalangan). Tak lain yakni kalangan priyayi, santri, dan abangan, sebagai klasifikasi sosial masyarakat kala itu (tahun 1960an). Secara realitas, tiga kelas sosial ini kiranya berkembang menjadi identitas politik yang kelak bersinggungan satu dengan lainnya.
Dijelaskan bahwa, golongan priyayi adalah mereka yang memiliki identitas tinggi dalam struktur sosial masyarakat. Dengan ciri yang identik melalui jabatan sosialnya. Termasuk kelas para bangsawan, yang memang tampak sejak masa kerajaan berkembang di pulau Jawa. Bahkan para keturunannya juga diklasifikasikan sebagai golongan yang modernis dengan proyeksi politiknya masing-masing.
Selain itu, ada golongan santri, yang memang menjadi identitas sendiri sejak kebangkitan kesultanan Islam hingga masa Kebangkitan Nasional. Tak lain melalui berbagai ruang pendidikan agama (pondok pesantren), yang bermunculan sebagai counter dari pendidikan liberal. Tentu dengan perkembangan masyarakat yang mengklasifikasikan melalui pendekatan budaya kaum santri.
Terakhir, adalah golongan abangan, yang identik dengan masyarakat kelas bawah. Dengan klasifikasi golongan petani kecil, ataupun buruh pabrik yang secara realitas ekonomi tidak terlalu baik. Inilah yang kelak berkembang secara politis melalui identitas sosial dalam ruang ideologinya masing-masing. Khususnya kala kebangkitan sistem kepartaian di Indonesia.
Seperti, Nasionalis, yang identik dengan golongan priyayi. Pan Islamis, yang identik dengan golongan santri. Serta Sosialis/Komunis, yang identik dengan golongan abangan. Pendekatannya tak lain karena ideologi yang sesuai dengan identitas sosial di kalangan masyarakat kala itu. Dimana historiografi Indonesia mencatatnya sebagai tiga golongan yang selalu berseteru.
Tak lain melalui pendirian partai yang berhaluan nasionalis, agama ataupun sosialis/komunis. Dengan konstelasi yang kerap berakhir pada konflik sosial di masyarakat.
Walau pada masa Orde Lama, tiga ideologi ini pernah coba disatukan, sebagai patron politik bangsa. Namun, perselisihan ideologilah yang kerap membuka ruang konflik. Rekam jejaknya tak lain berasal dari berbagai peristiwa pemberontakan yang berlatar belakang ideologi. Seperti Madiun 1948, DI/TII, hingga PRRI/Permesta, walau secara eksplisit tidak mengidentifikasi secara sosial.
Sebuah kealpaan yang dilakukan oleh Geertz kala memetakan secara sosial, tanpa menyentuh area politik secara komprehensif. Bahkan pada masa Orde Baru, terjadi upaya destrukturalisasi sosial melalui pengelompokan partai politik. Khususnya kala Orde Baru melarang ideologi komunis berkembang pasca Pemberontakan 1965.
Identifikasinya tetap menggunakan pendekatan Geertz, walau dengan pengklasifikasian yang merujuk pada sistem kepartaian. Seperti golongan nasionalis, yang identik dengan partai Golkar. Golongan Agamis, yang identik dengan partai PPP. Serta golongan abangan yang identik dengan partai PDI. Sebuah kebijakan yang tentunya sangat menentukan kala gelaran pemilu tiba.