Pada kesempatan ini, kiranya dapat dikemukakan bahwa benturan budaya atas perilaku politik mulai mengemuka dalam wacana publik. Tak lain karena adanya pemantik yang menjadi polemik atas isu nasional berlatar konflik kepentingan. Banyak argumentasi yang tampil sebagai bagian yang pro ataupun kontra. Namun, kita tidak akan sentuh area tersebut.
Melainkan melalui muatan yang lebih positif dalam pendekatan sejarah budaya. Jika Geertz memaknai budaya sebagai simbolistik dari kepercayaan (agama), maka pengaruh politik akan menjadi latar belakang pemantik hadirnya konflik ideologi. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa perilaku budaya memiliki keterkaitan dengan kepentingan politis bagi para pelakunya.
Sedangkan, sisi lain ideologis tak lain dijadikan landasan dalam memberi pengaruh yang bersinggungan. Secara spesifik, Adam Kuper dalam Culture (2000), lebih merealisasikannya dalam bentuk politisasi budaya. Dengan narasi, budaya dan agama yang telah berubah bentuk karena pengaruh politik dan kepentingan ekonomi.
Inilah mengapa, budaya dapat dengan mudah terpengaruh terhadap kepentingan politis dalam sebuah negara. Selain karena Geertz sendiri melakukan penelitiannya di Indonesia. Ada beberapa aspek yang dirasa alpa dalam memberi realitas politik sebagai dasar argumentasinya. Maka wajar jika kemudian Adam Kuper mendeskripsikan secara realistis. Khususnya dalam aspek sosial politik.
Sebelumnya telah diulas, bahwa etnosentris telah memberi dampak negatif bagi demokratisasi. Apalagi jika berkenaan dengan perilaku budaya yang terikat dalam wujud kesukuan. Jika Huntington menjelaskannya dalam Clash Of Civilitations, sebagai bagian dari benturan budaya berlatar ideologi. Maka dapat dikatakan, realitas kepentingan politiklah muasal terjadinya benturan tersebut.
Partisan politik yang sejatinya berasal dari kalangan grass root, dapat dikatakan telah terdikotomi dalam kepentingan kelompoknya masing-masing. Secara jelas, terhadap kepentingan yang lebih spesifik, dalam hal identitas budayanya. Kiranya hal ini yang menjadi faktor dimulainya persinggungan sosial.
Khususnya ketika unsur politik telah membentuk relasi kuasa atas suatu budaya tertentu. Dimana hal tersebut dapat memungkinkan terjadinya bias budaya yang perlahan hilang. Seiring ruang distorsi yang menyertai beragam dinamika pada prosesnya.
Hilang dalam unsur tradisi ataupun kepercayaan dimata publik. Melalui berbagai persepsi yang menihilkan nilai dan esensi budaya itu sendiri. Secara subjektif hal ini biasanya berangkat dari perspektif pribadi. Secara sinis dapat memberi kesan negatif bagi unsur budaya yang terlibat atau melibatkan diri dalam politik praktis.
Seperti yang dikemukakan di awal oleh Adam Kuper. Benturan budaya yang terjadi inilah yang dapat mengakibatkan munculnya berbagai konflik rasialis. Serupa dengan persepsi Huntington, walau dikemukakan dalam skala yang lebih global. Patut kita ingat bagaimana konflik di Ambon dan Sambas pada tahun 1999 telah mencederai persatuan dan kesatuan bangsa.
Konflik yang melibatkan identitas suku dan etnis secara politis memang kerap mewarnai jagad sejarah bangsa ini. Tak lain karena sifat alamiahnya, dan rentan terhadap unsur yang manipulatif. Namun, kiranya dalam orientasi demokratisasi, hal tersebut dapatlah dihindari. Dalam arti kata, dapat diwaspadai melalui pendekatan yang lebih edukatif dan humanis.