Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Redupnya Kepercayaan Publik terhadap Partai Politik

1 Agustus 2023   22:45 Diperbarui: 1 Agustus 2023   22:59 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi partai politik (sumber: Kompas.id/HENDRA AGUS SETYAWAN)

Topik ini kiranya dapat dinarasikan sebagai auto kritik terhadap sistem kerja partai yang dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat. Dalam beberapa kasus belakangan yang marak terjadi, sebagai konsekuensi politik dimata publik. Perspektif negatif atas konflik antar partai dibalik narasi kepentingannya masing-masing.

Hal inilah yang dirasa tidak dapat meyakinkan publik dalam status wakil suara rakyat. Tak luput terkait masalah individu (kader) atau proyeksi partai yang dirasa jauh dari ekspektasi rasionalitas. Bukan dalam pandangan skeptis, melainkan berangkat dari animo publik dalam menilai posisi partai politik saat ini.

Baik dalam hal dukungan kepada capres ataupun calon anggota dewan. Semua sama dalam paradigma probabilitas melalui sisi khas para pelaku politik. Entah sebagai tokoh politik, publik figur yang terlibat dalam politik, dan bahkan para simpatisannya. Melalui diksi yang selalu mengangkat kepentingan pribadi atau kelompoknya semata.

Hingga menimbulkan persepsi negatif, yang dapat membangkitkan sikap apolitik menjadi alternatifnya. Yakni dalam gelaran pemilu kelak, dengan lahirnya aksi "golongan putih", yang kontra demokratisasi. Walaupun dalam prinsip kebebasan, hal tersebut dapat dibenarkan melalui sudut pandang hak asasi manusia.

Tekanan ataupun penggiringan opini pada masyarakat tentu suatu hal yang tidak terelakkan. Apalagi kala masuk masa kampanye. Bukan berarti ada kepentingan individu atau kelompok, melainkan dalam orientasi politik pragmatisnya. Antara hak dan kewajiban politik, seolah tak ada sekat yang membatasinya. Dalam sikap-sikap yang dapat menimbulkan gejolak sosial tentunya.

Misal, dalam suatu desa, ada seorang Kepala Desa menghendaki warganya memilih arah politik yang sesuai dengan keinginannya. Dimana jika ada warga yang menolak, akan dikenai sanksi atau bahkan intimdasi secara sosial. Realitas ini kiranya marak terjadi, di beberapa daerah pada umumnya.

Maka wajar, jika menurunya kepercayaan publik terhadap partai politik dapat mengemuka seiring realitas politik yang berkembang. Jadi, publik kiranya menjadi area penentu bagi nasib sebuah partai yang mengharapkan suara dari para konstituennya. Bukan justru melakukan aksi yang kontra demokratisasi demi meraih suara yang besar.

Sama halnya dalam masa kampanye, sanksi sosial dapat saja terjadi sebagai bentuk konflik politik yang terjadi antar warga. Dengan potensi membesar dalam ruang politik yang lebih besar lagi. Dalam hal ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari peranan partai politik yang menguasai daerah tertentu. Simbolisasi identitas politik, ada juga yang sampai memantik kericuhan antar desa.

Realitas yang tak dapat dilepaskan tentunya, apalagi jika berkaitan dengan kepentingan politik para caleg. Banyak narasi yang akan tampak demi kepentingannya masing-masing, walaupun caleg tersebut berasal dari partai yang sama. Tendensi negatif dalam upaya saling mempengaruhi konstituen akan tampak sebagai realtas politik yang negatif.

Bukan justru dapat mengedukasi masyarakat terhadap beragam program kerjanya kelak. Tanpa tahu akan realisasinya di kemudian hari. Namun, perspektif ini kiranya dapat disanggah, jika ada keberpihakan secara partisipatoris dalam membangun kepercayaan masyarakat. Inilah kiranya yang dapat menjadi simbol kemandirian dalam demokratisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun