Demoralisasi demokrasi dalam arti memberi ruang sempit dalam praktik berbangsa. Kiranya menjadi narasi tendensius, yang jadi asal muasal lahirnya sistem otokrasi. Pandangan yang bersumber pada pemahaman kontra demokratisasi secara positif.
Posisi yang dapat dikatakan saling berhadapan, dalam dua kebijakan berbeda. Melalui pemahaman hingga norma yang saling berseberangan, antara kepentingan pihak yang satu dengan lainnya.
Dalam pendekatan sektarianis, demoralisasi ini biasanya terjadi dalam locus perbedaan persepsi politik. Baik melalui cara pandang, atau perilaku diskriminatif yang bermuara pada sikap saling membenci.
Walau sektarianis lebih condong pada pendekatan agama, seperti ungkap Hashemi dan Postel (2017). Namun, banyak kalangan menilai, hal ini merupakan salah satu aspek demoralisasi demokrasi. Dengan realitas politik yang tersekat dalam beberapa varian.
Varian dalam lingkup agama yang dinarasikan secara negatif, melalui sudut pandang kepentingan tertentu. Inilah yang menjadi faktor penyebab gejolak sosial. Khususnya dalam panggung politik jelang pemilu.
Tidak hanya itu, pendekatan sektarianis juga dapat mempengaruhi realitas sosial secara masif. Dalam hal ini Prof. Azyumardi Azra (2017), mengemukakan bahwa eksklusifitas dalam identitas sosial inilah yang dapat menjadi pemicu terjadinya sikap intoleransi.
Pun demikian, dalam pandangan Seno Gumira Ajidharma, yang memberi persepsi demoralisasi melalui hadirnya kelompok sosial eksklusif. Khususnya bagi mereka (kelompok) yang berada dalam lingkar kekuasaan politik atau agama.
Maka, dapat dikemukakan bahwa, demoralisasi demokratisasi inilah yang dapat menjadi problem kebangsaan dalam sudut pandang persatuan dan kesatuan. Perilaku sektarianis secara politis merubah wajah demokrasi menjadi cenderung tertutup.
Artinya bahwa, kelompok sektarianis dapat melakukan berbagai pendekatan politik kepentingan atas nama demokratisasi secara prgamatis. Relasi kuasa yang ada pada kelompoknya, dapat memberi keleluasaan dalam menentukan kebijakan publik.
Tentunya melalui mekanisme politik yang berlaku, baik dalam lingkungan partai, ormas, atau bahkan kelompok sosial. Upaya saling mempengaruhi terjadi dalam ruang publik secara simbolik, tanpa ada unsur edukasi politik yang positif.