Etnosentrisme secara harfiah merupakan identifikasi bagi masyarakat yang berasal dari sebuah budaya tertentu dengan orientasi sempit.Â
Dapat dikatakan cenderung bersifat negatif, karena menegasikan budaya lain yang dianggap berada dibawah budaya dari kelompoknya. Inilah yang kerap memantik terjadinya konflik sosial, khususnya jika berkenaan dengan unsur etnis, suku, dan agama.
Persoalan etnosentrisme ini juga dapat dikatakan selalu mengemuka, ketika telah bersentuhan dengan unsur politis. Tak lain karena sifatnya yang cenderung tidak memberi ruang terbuka (demokrasi) bagi kehadiran kelompok lain.Â
Baik melalui identifikasi sosial, latar belakang, silsilah, ataupun kasta politiknya. Walau dalam upaya pemenangan pada gelar pesta demokrasi, seperti pemilu.
Jika Matsumoto menilai etnosentrisme sebagai cara melihat dunia hanya melalui sudut pandang budayanya, maka dapat dikatakan hal tersebut cenderung diskriminatif.Â
Seolah tidak memberi ruang bagi kelompok lain untuk dapat terlibat dalam suatu peristiwa. Hal ini jika dikaitkan dengan realitas politis, maka tidak ada ruang bagi kelompok lain untuk dapat terlibat dalam panggung politik.
Baik secara terbuka atau tertutup, karena sudah dibatasi dalam sekat yang mendeskreditkan kelompok lain.Â
Khusus dalam masalah latar belakang budaya, yang kerap disebut-sebut sebagai citra dominan sebuah politik identitas. Keputusan yang bersifat politis, hanya dimiliki oleh lingkaran pimpinan atau sekelompok orang saja.
Walaupun banyak yang menyebutkan bahwa etnosentrisme adalah hal positif dalam mencapai eksistensi yang politis. Dimana hal tersebut justru mencederai makna dari demokratisasi politik secara tidak langsung.Â
Jadi buka semata-mata hanya didominasi oleh kelompok yang berlatar belakang sama (suku, ras, budaya, bahkan agama), melainkan pula memberi ruang terbuka dengan yang lain.